Sejauh apa aku sanggup untuk diam dalam kungkungan rindu dan tak menyapamu. Rasanya tak bertahan lama. Satu dua kali mampu kuabaikan gejolak rasa mengharap sua. Tapi seringkali justru aku kalah dan menyerah. Membuang ego dan mengaku layaknya pencuri yang menyusup diam-diam dan mengambil harta berhargamu. Tapi aku bukan pencuri. Akulah si Perempuan November yang perhatiannya tersita oleh bayangmu di sudut jiwa.
Sejauh apa kau sanggup berpura-pura tak merindukanku. Mengabaikan segala pengakuan rinduku seolah aku bukanlah siapa-siapa. Bukan gelatik yang kau inginkan hadir dan menghatkan harimu dengan kicauanku. Bukan si gadis sederhana yang senyumnya selalu ingin kau lihat. Tapi kau tak pernah benar-benar bisa mengabaikanku. Karena nyatanya dalam diammu kau menitikkan air mata bersebab rindu yang begitu menyesakkan hati.
Kemudian, ada masanya dimana saat kuputuskan mengikhlaskan rindu dan memilih bungkam. Kau tiba-tiba luruh, lalu entah dengan keberanian yang berasal darimana, kau kalahkan egomu sebagai lelaki dan menyeret langkah, menemuiku dan tertunduk setelah melisankan rindu. Aku hanya menyempatkan diri untuk menoleh sejenak, lalu membuang pandang.
Seperti siklus alam, begitulah berulang ulang. Sesekali kita sama-sama tunduk dan berdamai dengan ego lalu membiarkan rindu membawa kita dalam pelukan erat yang mendamaikan kalbu. Tapi nyatanya itu hanya sesekali. Karena seringkali kita lebih memilih untuk mengabaikan rindu dan mengagungkan kepongahan. Ah, kenapa kita begitu angkuh terhadap rindu yang sama-sama membara dalam dada.
Rumah Nebula, 26 Agust’14
Photo by Perempuan November
