Nonton bareng film Untuk Angeline |
Kali ke-2 Nonton Bareng Film Untuk Angeline : Saya sebenarnya bertanya-tanya, ini pertanda apa ya? *opening yang lebay*. Kemarin film My Stupid Boss saya nonton dua kali. Kini film Untuk Angeline juga nontonnya dua kali. Seakan-akan saya addicted banget sama film. Padahal saya hanya blogger remahan rengginang dan penikmat film biasa. Bukan kritikus film atau blogger dengan niche film yang bertabur undangan nonton bareng artis dan bikin para artis mengidam-idamkan filmnya ditonton dan di-review sama saya *eh, emang ada ya movieblogger yang se-famous itu?!*.
Baca juga : Nonton Bareng Film Untuk Angeline : Berurai Air Mata
Okeh, stop kelebaian pagi ini. Saya mau serius bilang kalau saya bersedia dinikahi sama abang itu *eh.. bukan gitu maksudnya. Yang bener itu serius mau nulis postingan ini. Duuh,, gagal fokus mulu, ngeteh dulu nih cocoknya*.
Kemarin (Kamis, 28 Juli 2016) saya nonton bareng lagi film Untuk Angeline. Awalnya nggak mau nonton sih karena lagi ada beberapa tulisan yang harus diselesaikan *sok banyak kerjaan padahal lebih banyak ngulet-nguletnya dibanding nulisnya*. Juga lagi sok rajin belajar coding. Cuma karena belajar HTML itu memang selalu buat mata saya jereng dan kepala pusing *adek memang nggak ngerti masalah kode-kodean ini bang*. Dan karena satu alasan lain yang dirahasiakan *what?! Rahasia?!*, jadilah saya nonton untuk mengisi ulang energi.
Iya, nonton itu bisa jadi sarana buat nge-refresh pikiran loh. Apalagi kalau nontonnya bareng orang-orang terkasih. Biar kata misalnya filmnya berat, seenggaknya nonton itu membuat kita melipir sejenak dari rutinitas sehari-hari.
Nonton bareng film Untuk Angeline kali ini berbeda dengan ketika saya menontonnya seminggu yang lalu bareng Kopiers Medan. Kali ini saya nonton bareng Kopiers Medan dan pemain Untuk Angeline: Kak Seto dan Hans de Kraker yang berperan sebagai Papa John.
Bersama kakak-kakak Kopiers Medan |
Kak Seto, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia – LPAI (d/h Komnas Anak) dan Senior Advisor dari KAMI (Koalisi Anak Madani Indonesia) yang diketuai oleh Arul Muchsen, kehadirannya disambut baik oleh para penonton Untuk Angeline. Tak hanya sekedar berfoto bersama, berbagai pertanyaan pun banyak dilontarkan pada beliau. Hal ini wajar karena selain ikut mengambil peran dalam film Untuk Angeline, Kak Seto juga dikenal sebagai sosok yang peduli dan aktif dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak.
Melalui film Untuk Angeline, Kak Seto berharap banyak orang yang lebih peduli terhadap anak agar kekerasahan anak dapat diakhiri. Tidak hanya untuk kasus Engeline beberapa waktu lalu, tetapi juga ke depannya, semoga masyarakat lebih peduli dan lebih peka dalam membaca tanda-tanda kekerasan terhadap anak. Jika ada anak yang terlihat murung, tidak bersemangat, atau ditubuhnya terlihat tanda-tanda kekerasan, kita sebagai orang dewasa harus segera mengambil tindakan. Orang-orang dewasa harus ramah dan menjadi sahabat yang baik bagi anak.
Foto bersama Kak Seto dan Kopiers Medan |
Kopiers Medan dan Hans de Kraker, Stop Child Abuse! |
Kalian sudah nonton film Untuk Angeline? Saya sudah dua kali loh!
Wisata Mangrove Kampoeng Nipah - Serdang Bedagai |
Pantai. Tempat ini ada dalam daftar resolusi 2016 saya. Bukan nama pantai tertentu yang saya tuliskan. Tapi keinginan untuk mengunjungi sekian jumlah pantai *jumlah pantainya rahasia ya, soalnya baru kesampain satu pantai ini saja*.
So, di suatu weekend saat seorang teman bingung hendak jalan kemana. Saya pun mengusulkan untuk mengunjungi Pantai Mangrove. Awalnya yang hendak berangkat ada beberapa orang. Tapi kemudian jadinya cuma berdua saja *kebiasaan ya gini, sibuk atur agenda tapi kemudian banyak yang batal ikut*.
Alasan saya memilih untuk berwisata di Pantai Mangrove Kampoeng Nipah ini karena dibanding pantai-pantai yang lain di Serdang Bedagai, pantai ini belum terlalu terkenal. Jadi saya berpikiran bahwa pantai ini tentu tak akan seramai pantai-pantai lainnya. Tempat wisata kalau sudah terlalu ramai menurut saya justru tidak asik. Tidak bisa menikmati objek wisata dengan bebas.
Kami berangkat sekitar jam 2 siang *ini karena kebanyakan diskusi sana-sini dan berujung pada batal berangkat dan menyisakan 2 orang saja*. Kurang ideal sih berangkat jam segitu jika ingin wisata ke Pantai Mangrove Kampoeng Nipah. Selain karena letaknya yang lumayan jauh dari Medan, juga karena cuaca sedang panas-panasnya. Kalau naik mobil ber-AC mah oke. Lha kami naik sepeda motor, yo kepanasan rek :D
Wisata Pantai Mangrove Kampoeng Nipah berada di Desa Muara Maimbai Kecamatan Sei Nagalawan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Lama perjalanan jika dari Medan antara 1,5 – 2 jam.
Kami sampai pukul 15.35 WIB. Jalan masuknya di sebelah jembatan (ada plang penunjuknya kok, jadi tak perlu takut kesasar). Sekitar 1 kilo melewati jalan yang bersisihan dengan sungai yang bermuara ke laut, akhirnya kami pun sampai juga. Hal ini ditandai dengan distopnya kendaraan kami untuk membayar tiket masuk.
Perahu nelayan, berlabuh di pinggiran sungai |
Tiket masuk seharga 10 ribu berdua. Ini sudah termasuk parkir sepeda motor dan naik getek (semacam perahu mesin) ke dekat pantai. Cuma kemarin temen baru aja kesana katanya kena 50 ribu (3 orang 2 sepeda motor). Katanya ada uang dinas atau uang apa gituh makanya lebih mahal dari biasanya. Yah semoga aja uangnya buat biaya pengembangan Pantai Mangrove Kampoeng Nipah ini. Sering soalnya menjuampai tempat wisata yang tempatnya gitu-gitu aja tapi uang masuknya lumayan mahal.
Saya excited dengan adanya getek ini. Saat hendak parkir, si geteknya mau berangkat, saya heboh nyuruh teman saya cepat-cepat parkir biar gak ketinggalan getek. Tapi kemudian si bapak petugas parkir bilang nggak pa-pa nanti ada lagi geteknya. Jadi deh saya nyengir tersadar kalau udah excited berlebihan :D
Naik getek untuk sampai di pantai |
Pemandangan saat naik getek |
Sampai juga di dermaga Pantai Mangrove |
Nah yang di seberang sono itu udah masuk kawasan Pantai Sialang Buah |
Welcome to Wisata Mangrove :) |
Ini buat foto beginian musti nunggu dulu sampe orang selesai lewat biar suasananya sepi dan berasa pantai milik pribadi :D |
Difoto kelihatan cerah banget. nah ini pas proses fotonya cengar-cengir kepanasan :D |
nah disini lumayan teduh karena banyak pohon bakaunya |
Nah tuh.. instagramable banget kan gazebonya |
Bersih. Kalian kalau kesini jangan buang sampah sembarangan ya.. |
Plang berisi info harga kuliner di kawasan Wisata Pantai Mangrove |
Meski sederhana tapi boleh lah ya :D |
Duduk-duduk di pinggir pantai yang teduh |
Iseng-iseng foto sana-sini |
Baper lihat hasil foto sendiri, pohon aja berdua, masak aku sendiri *guling-guling di pantai :D |
Matahari masih cetar membahana. Saya cengar-cengir menahan panas dan juga silau. Ditambah lagi telapak kaki yang juga kepanasan karena pasirnya panas *gitu pun tetap saja sandalnya dijinjing*. Alhasil kami berjalan di dekat laut yang pasirnya basah tersapu ombak.
Cari aman, jalan di dekat bibir pantai biar gak terasa banget panas pasirnya :D |
Awalnya mau jalan di depan deretan gazebo ini, tapi karena pasirnya panas nggak jadi deh |
Pantai Romantis terlihat di kejauhan |
Kami duduk-duduk di bawah sebuah pohon bakau yang cukup meneduhkan. Memandangi laut luas, juga airnya yang coklat bak kopi susu. Pantai-pantai di Serdang Bedagai yang merupakan area Selat Malaka ini memang yah begitulah, coklat susu. Beda dengan pantai-pantai di bagian barat yang berbatasan dengan Samudera Indonesia yang kinclong. Mungkin karena pantai disini adalah muara dari sungai-sungai yang ada di Sumatera Utara kali ya *sok tau*.
Akhirnya duduk-duduk di bawah pohon itu |
Kami tak banyak bicara, lebih banyak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saat-saat begini memang lebih asik dinikmati dengan diam. Rasanya begitu syahdu. Tanpa terasa matahari pun kian condong. Meninggalkan semburat jingga yang memesona. Suhu udara pun mulai berubah. Jadi lebih sejuk, mengarah ke dingin.
Kami memutuskan bangkit dan berjalan ke arah pulang. Tapi sebelum itu bermain-main dulu di pinggiran pantai yang mulai surut. Sambil menikmati pemandangan matahari hilang perlahan di balik rimbun pepohonan mangrove. Ah.. saya selalu jatuh cinta dengan momen matahari pulang ke peraduan. Rasanya nyaman, senyaman merebahkan kepala ke pangkuan ibunda.
Main-main sambil menikmati sunset dulu sebelum kembali ke Medan |
Matahari tenggelam sempurna. Lampu-lampu rumah penduduk mulai dihidupkan. Kami berjalan ke tempat parkir sepeda motor, tak lagi naik getek karena sudah lewat jam operasinya. Di tempat parkir, hanya tinggal sepeda motor kami. Mengobrol sejenak dengan petugas parkir yang ramah. Kami sedang ditunggu ternyata, pastinya karena tinggal motor kami satu-satunya yang mereka jaga, sementara mereka hendak istirahat. Tapi begitupun tak ada raut kesal di wajahnya, apalagi marah. Tetap lah ramah ya pak :)
Sepeda motor kami melaju ke arah Medan. Wisata ke Pantai Mangrove kali ini cukup membuat refresh dan mengobati kerinduan saya akan suasana pantai. Kelak suatu saat saya ingin kembali kesini, mencicipi kulinernya dan merasakan camping di pantainya. Semoga saja ada waktu dan kesempatan, aamiin.
Kalian pernah menikmati wisata Pantai Mangrove Kampoeng Nipah – Serdang Bedagai? Bagaimana kesannya?!
Jalan-jalan ke jembatan Suramadu |
Suramadu dan Kuliner Bebek Sinjay : Lagi-lagi saya posting cerita lama. Harap maklum saja lah ya, secara dulu saya belum secinta ini dengan dunia blogging. Jadi kalau sekarang lagi teringat pengalaman-pengalaman lalu, suka latah pengen buat postingannya. Apalagi kalau ada dokumentasi fotonya. Jadilah postingan baru cerita lama :D
Ini cerita waktu saya maen-maen ke Madura bareng dua orang teman saya lima tahun lalu *lima tahun mameeen, pastinya pipi saya belum se-chubby sekarang*
Sebenarnya dari awal berangkat ke Surabaya kami tidak ada niat ke jembatan Suramadu. Soalnya kami tidak ada yang tahu kalau ternyata jarak Surabaya-Suramadu hanya sekitar satu jam kalau naik sepeda motor. Maka ketika mbak Mun, salah satu kenalan kami di Surabaya memberitahu hal itu, kami pun heboh ingin main ke Suramadu.
Waktunya jalan-jalan!!
Kami berangkat mengendarai sepeda motor. Mbak Mun sendirian, saya dan Ulan boncengan. Surabaya puanas reek!!
Kami berhenti di tengah-tengah jembatan Suramadu. Seperti ini toh rasanya berada di tengah-tengah jempatan terpanjang di Indonesia hehehee… Berfoto-foto adalah hal yang wajib. Apalagi di jembatan dengan desain cantik ini. Kami pun mengabadikan momen ini dan menikmati pemandangan serta hembusan angin yang lumayan kencang. Usai berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.
Mumpung nggak ada kendaraan yang melintas, foto-foto dulu ah. Anginnya maksyuuur... |
Kesan pertama yang saya tangkap saat menginjakkan kaki di pulau Madura adalah : panas dan gersang. Para pedagang berjejer di kiri-kanan di sepanjang jalan di dekat jembatan Suramadu. Jajanan, pernak-pernik, kaos, kain dan batik Madura dijajakan seadanya.
Penjual kerajinan untuk oleh-oleh di sisi kiri-kanan jalan |
Jangan lupa nyobain kuliner bebek Sinjay sist, manteep!! Eh jadi ke rumahku nggak hari ini. Kalau jadi sekalian aku nitip bebek Sinjay ya
Begitu komentar mbak Yuli di statusku. Bebek Sinjay? Apaan tuh? Segera saya bertanya pada mbak Mun. Mbak Mun malah geleng-geleng tanda tak tahu. Segera saya balas komen mbak Yuli.
Insyaallah ya mbak, kalau kesana. Rencananya sih abes ini mau ke pantai Kenjeran trus pulang ke Surabaya.
Usai menikmati es kelapa muda sambil memandangi kendaraan yang melintas, kami melihat-lihat barang-barang yang dijual di sepanjang kiri-kanan jalan. Aksesoris, gantungan kunci, hiasan dinding berupa jaranan lengkap dengan pecut dan celurit khas Madura, perahu nelayan dan aneka kerajinan dari kulit kerang dijajakan di tempat ini.
Panas dan haus, minum es kelapa muda dulu sebelum melanjutkan perjalanan |
Rencana awal kami hendak ke pantai Kenjeran yang artinya kami kembali ke arah Surabaya. Namun entah kenapa kami penasaran untuk masuk terus ke daerah Madura. Ingin merasakan sate Madura yang terkenal itu. Kondisi jalan cukup bagus. Jalanan tak begitu ramai. Kami melarikan motor kami tanpa tujuan pasti. Hanya mengikuti arah jalan saja.
Sampai masuk lumayan jauh ke wilayah Madura (dari penunjuk jalan yang kami baca kami menuju ke arah Bangkalan), kami tak menemukan warung sate Madura. Padahal di Medan sate yang terkenal itu sate Madura sama sate Padang. Lha ini di daerah Madura sendiri kok kami malah tak menemukannya. Yang banyak terbaca malah warung bebek. Waduh.. kok gini? Jadi mikir, di oleh-oleh khas Medan itu salah satunya Bika Ambon. Nah di Ambon sendiri ada nggak ya Bika Ambon dijual. Jangan-jangan Bika Ambon sama nasibnya kayak sate Madura. Di tanah orang terkenal, di daerah yang menjadi namanya malah biasa saja.
Saat kami hampir putus asa karena tak menemukan sate Madura dan hendak balik arah, mata saya tertuju pada satu plang besar berwarna orange bertuliskan “Warung Nasi Bebek Sinjay”. Pikiran saya pun langsung tertuju pada komen mbak Yuli di status FB saya. Kontan saja kami berniat untuk mencoba, secara kami memang belum makan siang. Warung dengan dekorasi dominan warna orange ini tampak ramai. Beberapa mobil dan kendaraan memenuhi sisi jalan. Melihat hal tersebut kami pun dengan semangat memarkirkan sepeda motor. Pengunjungnya ramai, pastilah karena rasa makanan di sini enak.
Kami segera mencari meja yang kosong dan memesan menu. Gileee…!! Ruamee bener coy!! Mbak-mbak di dalam yang melayani pemesanan sampai bingung. Sedihnya, bebeknya kosong karena banyaknya pesanan. Tinggal lah nasi+jeroan ayam. Kalau ngotot mau bebek sih bisa saja, tapi nunggunya bisa sampai dua jam-an, wedew!! Keburu pingsan kelaparan. Karena terdesak (suerr.. desak-desakan cuy saking ramenya) dan malas nunggu selama itu, kami pun memesan nasi+jeroan+teh botol.
Pesanan datang. Asikk!! Siap-siap mencoba kuliner Madura. Hajar!! Nasi putih, jeroan di goreng, teh botol dan.. sambal. Eh, tapi by the way itu sambal apa ya? Kok beda dari sambal di Medan? Untuk mengobati rasa penasaran, saya pun segera mengambil jeroan dan mencolekkannya ke sambal itu. Beugh.. pedas gilaa!! Tapi ada sedikit kecut-kecutnya (asam) gitu. Biasanya kan pedas manis, kalo ini pedas kecut. Saya pandangi sambal berwarna kuning itu. Ada irisan-irisan kecil berwarna kuning bersatu dengan butiran-butiran cabai. Sambal apa sih ini?
“Kayaknya keistimewaan warung ini terletak di sambalnya, iya kan?”
Kedua teman saya mengangguk. Saya akui, sambalnya memang maknyus. Kami makan dengan lahap. Dalam hati saya masih berpikir, sambal apakah ini gerangan. Apa saja ya bahan-bahannya, kok rasanya benar-benar menggoyang lidah begini. Biasanya sambal warnanya kan merah atau ijo, atau hitam seperti sambal kecap, nah ini kuning. Selidik punya selidik, yang membuat sambal ini berwarna kuning muda adalah irisan mangga muda yang dicampur dengan sambal. Pantas saja rasanya pedas asam.
Sayangnya cuma ini dokumentasi waktu di Warung Nasi Bebek Sinjay. Saking semangatnya malah nggak ada fotoin makanannya. |
Sampai sekarang saya masih penasaran dengan bebek Sinjay meskipun sudah merasakan kelezatan sambalnya. Inilah yang saya suka dari travelling. Ada banyak hal yang tak terduga yang akan kita temui. Hal-hal yang membuat hati dan pikiran kita semakin kaya oleh pengalaman. Yah, makan siang waktu itu cukuplah untuk mengobati rasa kecewa kami karena tak menemukan warung sate Madura. Tapi tetap, sate Madura dan bebek Sinjay menjadi incaran saya kalau suatu saat main ke Madura lagi.
Kalian pernah mencari warung sate Madura di Madura? Ketemu? Atau malah melipir ke Warung Nasi Bebek Sinjay seperti saya dan dua teman saya :)
Nonton bareng film Untuk Angeline |
Sebenarnya ada banyak kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia. Hanya saja sedikit yang terkuak publik. Gemparnya kasus Angeline ini membuat banyak pihak tergerak untuk bersama-sama mengkampanyekan gerakan melawan kekerasan terhadap anak. Tak ketinggalan para sineas film di negeri ini.
Film Untuk Angeline adalah film yang terinspirasi dari kasus Angeline beberapa waktu lalu. Film garapan rumah produksi Citra Visual Cinema ini adalah film kedua yang saya tonton selepas lebaran. Sebelumnya, seminggu setelah lebaran saya menonton film Rudi Habibie bersama seorang kawan.
Baca juga : Film Rudi Habibie (Habibie Ainun 2) : The Power of Childhood
Film Untuk Angeline tayang perdana di bioskop tana air pada Kamis 21 Juli 2016. Saya menonton bersama kawan-kawan dari KOPI (Koalisi Online Pesona Indonesia) Medan pada penayangan perdananya. Sedikit informasi, KOPI adalah semacam wadah berkumpulnya jurnalis dan blogger yang senang berbagi hal-hal positif baik itu tentang film, seni, maupun hal lainnya.
KOPI, Koalisi Online Pesona Indonesia |
Kita sepakat nonton yang jam 12.15 WIB. Saya datang bareng Kak Tiwi. Di parkiran jumpa sama Kak Tami *yang ternyata junior saya di organisasi kampus*. Sampai di XXI Hermes Place udah ada Kak Hera, Kak Akieb, Temennya Kak Akieb, Kak Windo, dan Kak Akbar. Menyusul kemudian Kak Funy dan Kak Windy. Kak Ulfa dan Kak Kinah datang barengan beberapa saat sebelum film dimulai.
Langsung nonton? Nggak lah, foto-foto dulu dooong. Namanya juga insan yang hidup di jaman dimana sosial media dianggap bagian dari eksistensi diri, so foto-foto wajib hukumnya *tapi di samping itu emang dasarnya kami gilfot sih, a.k.a gila foto*. Ulfa ngeluarin tongsisnya. Dan Kak Windy pun dengan tanpa paksaan merelakan hapenya buat mengabadikan kebersamaan siang itu. Oke, narsis dimulai, 1,2,3.. cekrek!
Wefie dulu.. |
Namanya juga ngumpul, so pasti foto-foto nggak ketinggalan |
Saking asiknya wefie kami sampai jadi bahan perhatian pengunjung XXI lainnya. Bahkan ketika jalan menuju studio filmnya, Kak Windy dan Kak Tami sampai mau belok ke studio 3 padahal nontonnya di studio 6. Iyalah salah belok, wong fokusnya ke kamera mulu :D
About the film, udah pasti tau lah ya ceritanya tentang apa. Secara ini film memang terinspirasi dari kisahnya Angeline. Saya pribadi jujur sebenarnya nggak suka film beginian *film sedih maksudnya*. Bukan apa-apa, rasa-rasanya nonton sambil nahan nyesek di dada karena kebawa cerita sedih film tersebut itu kok ya gimana gituh. Gini-gini saya orangnya mudah tersentuh dan mewek loh. Jadi biasanya saya bakal nggak mau nonton film sedih karena selain mudah tersentuh saya juga bukan tipe cewek yang kemana-mana bawa tisu *kan nggak kece kalau saya ngelap air mata pakai jilbab*. Saya juga males nonton film laga dan perang-perangan karena menurut saya itu bikin capek. Genre film lain yang saya hindari adalah film horror karena seringnya hantunya nggak serem cuma sound dan musiknya sering buat kaget dan jantungan.
So, biasanya saya sih nonton film yang ringan-ringan, menghibur, tetapi juga punya pesan kuat untuk disampaikan ke penonton.
Trus kenapa mau nonton bareng film Untuk Angeline? Alasannya ada 2 sih : karena saya mendukung segala bentuk usaha untuk melawan kekerasan terhadap anak dan karena ini adalah kopdar pertama saya dengan kakak-kakak di KOPI. Iya jadi ceritanya saya baru beberapa waktu lalu bergabung dengan KOPI. Kita komunikasinya lewat grup WA aja. Jadi waktu ada yang mencetuskan ide buat nonton bareng film Untuk Angeline sekaligus kopdaran, saya langsung semangat ikut.
Pamer tiket :D kopdar sekaligus nonton |
Awal film dibuka dengan adegan di pengadilan dimana Samidah (ibu kandung Angeline, diperankan oleh Kinaryosih) bersaksi di pengadilan atas kasus kematian putrinya. Kemudian lompat ke adegan Samidah melahirkan di rumah sakit. Miskinnya kehidupan Samidah dan Santo (suaminya, diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana) membuat pasangan ini tak mampu membayar biaya persalinan.
Pertengkaran kecil pun terjadi. Santo sebagai suami merasa tertekan dan tak tahu harus mencari dana dimana. Kendati begitu, ia menolak mentah-mentah saat Samidah mengusulkan untuk menjual satu-satunya sepeda motor mereka.
Santo kemudian memutuskan untuk menyerahkan anaknya kepada Terry dan Jhon, pasangan suami istri yang tengah mencari anak perempuan untuk diadopsi. Sebagai kompensasi, Jhon dan Terry melunasi semua biaya persalinan dengan catatan Samidah dan Santo boleh menemui Angeline setelah Angeline berusia 18 tahun.
Awalnya Samidah menolak mentah-mentah. Naluri keibuannya tak rela jika harus berpisah dengan darah dagingnya. Tapi atas bujukan suaminya dengan alasan agar anak mereka bisa hidup layak, ia pun akhirnya setuju meski dengan hati teriris perih.
5 tahun berlalu. Samidah meninggalkan Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun jarak dan waktu tampaknya tak bisa membuat Samidah melupakan anaknya. Ia terus saja teringat dan merindukan sosok Angeline. Sebaliknya, Angeline tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan bahagia karena Jhon begitu menyayangi dan mengutamakannya. Hal ini membuat ibu dan abang angkatnya, Kevin cemburu. Mereka begitu membenci Angeline karena perhatian Jhon banyak tercurah padanya. Alhasil, mereka pun selalu berusaha untuk mencelakai Angeline.
Hidup Angeline berubah drastis sejak kematian Jhon. Siksaan tak henti-henti ia terima dari ibu angkatnya. Ia tak lagi punya papa yang selalu melindunginya. Nilu, pembantu rumah tangga keluarga itu pun tak bisa berbuat banyak untuk menolong gadis kecil nan malang itu.
Menonton film besutan sutradara Jito Banyu ini memang menyesakkan dada. Apalagi teman yang duduk di samping kiri, kanan dan belakang saya pada sentrap-sentrup semua, berurai air mata karena tak tega melihat penyiksaan demi penyiksaan yang diterima Angeline *sentrap-sentrup itu,, mmm… apa ya bahasa Indonesianya. Itu loh kalau kita nangis kan hidung kita beringus tuh. Dan karena ingusan jadi pas narik napas melalui hidung kedengaran bunyi yang khas kayak kita lagi flu itu loh. Ah itu lah itu pokoknya*.
Rasa kemanusiaan kita seakan diaduk-aduk dan dibuat geram dengan kekejaman sosok Terry sebagai ibu angkat yang seakan tak punya nurani, menyiksa anak kecil yang seharusnya justru dikasihi. Tak hanya kisah pedih Angeline dan siksaan yang diterimanya. Drama kehidupan rumah tangga Samidah pun tak kalah menyayat hati. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menabung untuk memperbaiki taraf hidup, eh malah dikhianati suami sendiri. Uang yang ia kirim kan ke suaminya malah dipakai Santo untuk nikah lagi. Tinggalnya di rumah yang dibangun dengan hasil keringat Samidah pula. Malang nian.
Kemiskinan dan kecemburuan, inilah 2 poin yang saya tangkap di film Untuk Angeline ini. Kemiskinan memang kerap menyeret siapa saja dalam hidup penuh kepedihan. Mirisnya, kemiskinan seakan seperti penyakit pemicu penyakit lainnya. Komplikasi. Kemiskinan membuat Samidah dan Santo dalam pengetahuan yang sangat minim tentang hukum hingga mereka pasrah saja anaknya diadopsi tanpa berkas yang jelas. Kemiskinanlah yang memaksa mereka merelakan putri satu-satunya diasuh orang lain. Sementara kecemburuan Terry dan Kevin membuat hati mereka diselimuti dendam terhadap Angeline dan akhirnya berujung pada siksaan demi siksaan. Pada dasarnya mereka sama-sama miskin. Bedanya, Sumidah dan Santo miskin materi dan pengetahuan. Sedangkan Terry dan Kevin miskin hati dan kasih sayang. Sementara Angeline adalah korban dari kedua pihak ini.
Mengenai akting, saya rasa Roweina Umboh yang berperan sebagai Terry layak mendapat acungan jempol. Sosok ibu angkat yang kejam diperankan dengan apik oleh Roweina. Ekspresi kejamnya itu dapet banget loh menurut saya.
Habis film terbitlah wefie :D |
Sepanjang film diputar, pikiran saya melayang pada sosok Angeline dalam kehidupan nyata. Membayangkan siksaan demi siksaan yang diterimanya bertahun-tahun sejak papanya tiada. Dulu, saat kasus Angeline mencuat, saya sempat tak percaya kasus itu benar-benar terjadi. Seperti di film-film dan sinetron saja. Tapi nyatanya kasus Angeline adalah fakta. Dan bukan tidak mungkin ada Angeline-Angeline lain yang harus menghabiskan masa kanak-kanak dengan tragis dan menyedihkan. Untuk itulah film ini dibuat. Untuk mengingatkan kita agar lebih aware terhadap sekeliling. Juga agar kita bisa mengambil tindakan jika mengetahui ada kasus-kasus kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan kita.
Niatnya kak Hera foto dengan background poster film Untuk Angeline, tapi ya begitulah hasilnya :D |
Untuk para orang tua, film Untuk Angeline mengajak untuk lebih melek hukum. Sesulit apapun kondisi ekonomi keluarga, sebisa mungkin untuk tetap mengasuh sendiri anak kita. Kalaupun harus diadopsi, setidaknya harus sesuai peraturan yang berlaku, juga berkas-berkas yang lengkap.
Yaps, itulah cerita saya tentang Nonton Bareng Film Angeline : Berurai Air Mata. Kalian, atur jadwal gih buat nonton film ini. Ajak teman dan keluarga. Mari kita dukung film Indonesia dan stop kekerasan terhadap anak.
Sebelum pulang cekrak-cekrek dulu kakaaa.. kali ini minus kak Windy karena si kakak buru-buru balik ke kantor :) |
NB : Foto-foto tanpa watermark adalah foto dokumentasi KOPI Medan.
Menikmati senja di Pantai Ulee Lheue - Banda Aceh |
Ulee Lheue *biasa dibaca Ulele* adalah nama sebuah gampong *setara kelurahan* di Aceh, tempat pelabuhan untuk penyeberangan ke Pelabuhan Balohan di Sabang, Pulau Weh berada. Karena berada di gampong Ulee Lheue makanya pelahan ini dinamakan Pelabuhan Ulee Lheue. Dan kawasan pantai yang terdapat di sepanjang jalan menuju pelabuhan tersebut dinamakan Pantai Ulee Lheue.
Pelabuhan Ulee Lheue dibangun pada tahun 2000, namun pada 2004 mengalami kerusakan parah akibat bencana tsunami. Pada 2005 pelabuhan ini dibangun kembali.
Menghabiskan sore hari di Pantai Ulee Lheue pernah saya lakukan beberapa tahun lalu. Tepatnya pada penghujung Oktober 2013. Sudah hampir tiga tahun berlalu rupanya.
Kala itu saya tengah berlibur ke Banda Aceh sebelum melanjutkan ke Sabang. Menumpang di kontrakkan seorang kawan yang tengah S2 disana. Karena si kawan ada kuliah, ia tak bisa menemani jalan-jalan. Tapi baiknya ia meminjami saya sepeda motor. Jadi saya bisa berjalan-jalan sendiri.
Jalan-jalan seorang diri bukan masalah buat saya selagi ada uang di dompet dan pulsa di ponsel. Apalagi ada kamera dan sepeda motor, ya pas banget lah.
Baca Juga : Sabang, Surga Pariwisata Aceh di Ujung Barang Indonesia
Bagaimana saya bisa tau Pantai Ulee Lheue? Ceritanya paginya sebenarnya saya dan kawan saya sudah ke Pelabuhan Ulee Lheue untuk nyeberang ke Sabang. Tapi kami gagal berangkat karena suatu hal. Makanya menginap dulu di Banda untuk esoknya nyeberang ke Sabang.
Nah pas pagi ke Pelabuhan Ulee Lheue itulah saya memperhatikan kawasan sepanjang pinggiran laut yang menuju ke Pelabuhan Ulee Lheue itu sepertinya tempat yang asik untuk menghabiskan waktu di sore hari. Apalagi kata teman saya sore hari banyak penjual jagung bakar di sepanjang kawasan itu. wah.. pas banget deh.
Dan sorenya, berbekal tanya sana-sini *saya susah nginget jalan boook, jadi walaupun paginya udah jalan kesini tetep aja pake acara nanya-nanya*, sampailah saya ke Pantai Ulee Lheue. Benar saja, sepanjang pinggiran jalan banyak penjual jagung bakar. Tanpa pilih-pilih saya memarkirkan sepeda motor di salah satu penjual *Iyalah nggak pilih-pilih, secara saya nggak punya rekomendasi mana jagung bakar terenak di wilayah ini*
Pengunjung Pantai Ulee Lheue tengah menikmati jagung bakar |
Minta tolong penjual jagung bakar buat fotoin :D |
Dari cerah menjadi berawan. Sempat berpikir gak bakal bisa liat sunset disini |
Eh ternyata nongol lagi mataharinya :D |
Disuguhi pemandangan sore seperti ini, siapa yang nggak terkagum-kagum coba?! |
Jepretan dari ponsel saya kala itu, Blackberry 9930 |
Matahari menghilang di balik bukit. Tapi masih meninggalkan semburat jingga di langit Ulee Lheue yang terpantul indah di pantainya. Saya sebenarnya enggan beranjak. Andai saja maghrib tak datang, mungkin saya pun tak akan bergerak ke arah pulang. Tapi begitupun saya tetap senang. Pengalaman menikmati senja di di pantai ini cukup membuat saya tersenyum kala terkenang. Bahkan meski telah sekian tahun berkelang.
Pernah kalian menikmati senja di Pantai Ulee Lheue - Banda Aceh? Pasti indah bukan?!
Film Rudy Habibie |
Tapi akhirnya saya milih nonton Rudy Habibie. Alasannya sih karena saya takut baper terus mewek-mewek keinget almarhum ayah saya kalau nonton Sabtu Bersama Bapak. Daripada malu entar ketahuan nangis, jadi cari aman aja deh.
Mengenai film Rudy Habibie, saya pengen nonton karena aslinya memang penasaran dengan sosok dan kisah hidup Pak Habibie. Bukan karena film Habibie Ainun loh ya. Soalnya jauh sebelum itu saya sudah sering mendengar nama Pak Habibie disebut-sebut.
Ketertarikan saya pada sosok Pak Habibie bukan diawali saat beliau menjabat sebagai presiden Indonesia menggantikan Pak Harto. Karena masa itu saya masih kecil dan belum ngerti politik. Kala itu figur Pak Habibie yang saya tau ya hanya sebagai presiden negeri ini. Itu saja.
Nah pas SMK, guru pelajaran ekonomi di sekolah saya sering banget nyebut-nyebut nama Pak Habibie. Kalau kami sudah mulai terlihat nggak nangkep apa yang ia terangkan, mulai deh si bapak guru cerita. Katanya, kalau seandainya negara ini kalah perang, lalu kami sekelas bersama Pak Habibie harus diselamatkan tapi harus memilih akan menyelamatkan kami sekelas atau Pak Habibie seorang, maka yang dipilih pasti Pak Habibie. Itu karena Pak Habibie sangat pintar. Dan jika otak kami sekelas digabungkan, tetap nggak akan bisa menandingi kepintaran Pak Habibie.
Saya dulu suka dongkol saat guru saya itu mulai mengulang cerita tersebut. Emang sih ya, kecerdasan Pak Habibie udah terbukti. Kata-katanya nih ya, Pak Habibie adalah satu-satunya manusia di dunia yang masih hidup dan memiliki IQ 200. Saya dongkolnya bukan sama Pak Habibie melainkan sama guru saya. Soalnya gaya dia bercerita itu sinis dan terkesan sangat merendahkan kami. Lagian siapa juga yang suka dibanding-bandingin gitu. Niatnya mungkin baik untuk memotivasi, tapi caranya kurang tepat menurut saya.
Milih nonton Rudy Habibie karena sejak SMK nama Habibie sering disebut-sebut oleh guru saya. |
Oke, balik ke film Rudy Habibie. Saat nonton trailernya, saya sempat bertanya-tanya, kok pemeran wanitanya diganti. Bukan BCL lagi. Terus itu si Chelsea Islan kok gaya ngomongnya di film itu sok kebarat-baratan gitu. Perasaan Bu Ainun orang Indonesia deh. Yokko, teman saya juga ikutan nyeletuk : ah enakan si Bunga yang bawain. Kami berdua sama-sana songong ya, belum nonton filmnya udah sok mengambil kesimpulan.
Film diawali dengan adegan Rudy kecil tengah bermain di kampung halamannya di Pare-Pare, Sulawesi. Saat itu masih bergejolak perang. Jadi ya adegan khas perang jaman dulu gitu : bom, warga sipil yang berlarian menyelamatkan diri sambil mencari-cari keluarganya. Rudy kecil bersama adik dan teman-temannya bermain di sebuah bukit. Saat pesawat pengebom datang, Rudy hampir jatuh dari bukit berbatu itu kalau saja tidak ada adiknya yang menolongnya.
Dari kecil sudah terlihat bahwa Rudy Habibie adalah sosok yang keras kepala dan teguh pendirian. Ini tergambarkan lewat adegan saat semua orang hendak mengungsi karena desa mereka diserang penjajah, namun Rudy malah berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil buku dan mainan pesawat terbang miliknya.
Secara keseluruhan, film ini bercerita tentang kehidupan seorang Rudy Habibie saat menuntut ilmu di Aachen, Jerman. Bagaimana kegigihannya bertahan meski halangan dan rintangan datang dari berbagai arah: teman-teman yang tak sejalan, ekonomi keluarga yang pas-pasan, dan kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang berdampak pada kebebasannya berkreatifitas, juga percintaannya. Disini deh baru ketahuan kalau Chelsea Islan ternyata bukan memerankan Bu Ainun, melainkan Ilona, cerita cinta lain dari seorang Habibie sebelum menemukan cinta sejatinya bersama Ainun.
Ilona yang pintar dan fasih berbahasa Indonesia membuat jalinan cinta antara dirinya dan Habibie berjalan manis semanis madu. Ilona adalah wanita yang setia menemani hari-hari Habibie di Aachen. Juga orang yang paling paham seberapa besar impian dan rasa cinta Habibie muda terhadap Indonesia. Meski karena kedekatan keduanya, ada Ayu (mahasiswi Indonesia yang berasal dari Solo) yang tersakiti. Hulalaa.. ternyata selama ini Ayu menaruh hati pada Habibie yang menurutnya cerdas dan menyenangkan. Orang cerdas memang selalu terlihat menarik yang mbak Ayu :D
Menuntut ilmu ke Jerman tidak dengan beasiswa dari pemerintah malah membuat Habibie jadi bahan bully-an mahasiswa Indonesia lainnya di Jerman. Kebalik ya. Biasanya yang dapat beasiswa yang disepelehin karena dianggap nggak mampu. Lah ini malah yang biaya sendiri yang di-bully.
Yang bikin miris yang mem-bully justru sesama mahasiswa dari tanah air. Pemuda-pemuda yang dapat beasiswa pendidikan karena dianggap telah berjasa dalam usaha mempertahanankan negara. Aktivis gitu lah bahasa kerennya. Tipikal Habibie yang serius dalam belajar bertolak belakang dengan mahasiswa berpaspor biru (penerima beasiswa) yang cenderung menjadikan sekolah di luar negeri untuk ajang jalan-jalan dan senang-senang. Ya walaupun nggak semua seperti itu. Ada beberapa mahasiswa berpaspor biru yang sejalan dengan Habibie.
Dari film ini saya tiba-tiba jadi maklum kenapa negara kita masih seperti ini meski sudah 70 tahun merdeka. Lha wong di awal-awal masa kemerdekaan saja masing-masing sudah bergerak dengan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok.
Apa yang membuat Habibie bertahan di Aachen meski harus sering menahan lapar, dan rindu pada keluarga di tanah air? Juga perasaan marah pada orang-orang tertentu. Jawabannya adalah kenangan semasa kecil bersama orang tua, khususnya ayah. Film ini memang berisi cuplikan-cuplikan adegan masa kecil Rudy Habibie. Tiap kali merasa down, dengan berlinang air mata, Rudy Habibie selalu mengingat kebersamaannya dengan almarhum papinya. Bagaimana papinya meninggal saat tengah bersujud dalam sholatnya, menjadikan Habibie sosok yang tak lupa agamanya meski berada di negara dimana islam adalah agama minoritas. Papi maminya yang berbeda suku dan diasingkan dari keluarga membuat Habibie tumbuh menjadi pribadi yang menghargai perbedaan. Ia bahkan sholat di gereja karena yakin Tuhan tahu ketulusan hatinya. Dan yang paling terpatri di hati adalah nasihat papinya agar ia menjadi mata air. Mata air yang jernih dan mengalir yang menghidupi sekelilingnya.
Baca Juga : Kebahagiaan Keluarga, Penentu Karakter dan Tumbuh Kembang Anak
The power of childhood, inilah menurut saya yang menguatkan Habibie. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa film ini adalah film tentang kisah cinta lain seorang Rudie Habibie. Benar sih. Tapi yang tak kalah menarik untuk dibincangkan menurut saya adalah tentang the Power of Childhood-nya Habibie ini. Masa kecil yang menyenangkan dan menginspirasi hingga besar. Kenangan semasa kecil memang sangat berarti bagi tiap orang. Juga berpengaruh dalam perkembangan mental seserang. Masa kecil selain menjadi kenangan yang akan tersimpan di memori jangka panjang tiap orang, juga memberi dampak pada pembentukan sifat seseorang ketika ia dewasa kelak. Pengalaman masa kecil Habibie bersama papinya menginspirasi Habibie untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Kenangan masa kecil itu pula yang menguatkannya kala down dalam usaha mewujudkan cita-cita.
Baca Juga : Waktu Bersama Ayah
Habibie begitu mencintai Indonesia. Jujur saja, saya teringat pada diri saya sendiri ketika menonton film ini. Tentang teman-teman saya yang menutuskan ke Jerman *saya ambil studi Bahasa Jerman saat kuliah dulu* kemudian menikah dengan orang Jerman dan memilih tinggal dan bahkan menjadi warga negara Jerman. Saya dulu suka sinis dengan hal tersebut. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin jika saya memilih merantau ke Jerman, lalu merasakan betapa enaknya hidup disana, kebijakan-kebijakan negara untuk warganya, mungkin saya juga akan seperti teman-teman saya yang memilih tak kembali ke Indonesia.
Makanya saya acungin jempol untuk Pak Habibie, saat gambar rancangan-rancangannya disita pemerintah Jerman karena Indonesia bukan anggota NATO sehingga karyanya dianggap mengancam, juga saat Ilona, wanita yang dicintainya memintanya memilih antara dirinya atau Indonesia, ia tetap memilih Indonesia. Rasa kebangsaan yang dimiliki Pak Habibie memang tinggi dan bikin saya terkagum-kagum.
Hal lain yang saya ketahui tentang sosok Pak Habibie lewat film Rudy Habibie ini adalah cara berpikir beliau yang selalu melihat sesuatu melalui fakta di lapangan, kemudian mencari apa masalah dari fakta tersebut, dan jika sudah didapat masalahnya, baru lah mencari solusinya. Faktanya, masalahnya, solusinya. Kalimat ini pula yang menjadi kalimat dalam percakapan saat Ilona dan Habibie berpisah.
Ilona : “Faktanya kamu cinta Indonesia, masalahnya kamu cinta Indonesia…”
Habibie : “Solusinya saya cinta Indonesia.”
Duuh pak, saya harus belajar lebih banyak lagi tentang nasionalisme dari bapak :)
Meski film ini bercerita tentang perjuangan anak bangsa yang ingin menjadi mata air bagi negaranya, bukan berarti film ini kaku dan terlalu serius. Banyak lucu-lucunya juga kok yang sukses mengundang tawa. Terutama dengan adanya Boris Bokir yang berperan sebagai Poltak, mahasiswa asal Medan yang ceplas ceplos dengan logat yang khas.
Habibie sendiri ternyata selain serius dan pintar, ia juga gokil. Kegokilannya yang sukses membuat saya ngakak adalah tiap kali ia ditanya orang kenapa bahasa Jermannya sangat fasih. Saking seringnya mendapat pertanyaan seperti itu, ia jadi menjawab asal dan iseng. Tiap ditanya seperti itu ia selalu menjawab dengan mimik serius bahwa orang tuanya adalah kanibal dan pernah makan orang Jerman, makanya ketika dirinya lahir ia jadi pandai bahasa Jerman hahhaha… Tapi ada suatu ketika karena keisengannya itu ia jadi malah mendapat julukan kanibal dari orang-orang sekelilingnya.
Nonton film Rudi Habibie bikin saya makin kagum sama Pak Habibie. Juga menumbuhkan semangat kebangsaan, sekaligus harapan, semoga ada Habibie-Habibie lain yang lahir dan tumbuh menjadi mata air di negeri ini.
Itulah sekilas cerita saya tentang film Rudy Habibie, buruan tonton gih di bioskop, masih tayang kok. Kalau masalah acting, udah tau lah ya gimana acting Reza Rahadian. Juga pemain pendukung lainnya seperti Ernest, Pandji, Chelsea Islan, dan beberapa nama lainnya.
Oya, bocoran nih. Bakal ada film tentang Habibie Ainun 3. Kira-kira berkisah tentang apa ya?! Ada yang mau nebak?
Aku dan Kamera Ponsel : Mengabadikan Momen Sekaligus Berbagi Inspirasi – Kalau ada yang tanya dari mana hobi jalan-jalan dan jeprat-jepret saya diturunkan, jawaban saya adalah dari ayah. Hal ini sebenarnya sudah pernah saya ceritakan di postingan saya yang berjudul Waktu Bersama Ayah yang saya posting beberapa saat lalu.
Ayah saya sering bepergian untuk urusan pekerjaan. Kadang ia pergi cukup lama hingga saya hanya bisa memandangi fotonya kala rindu mendera. Tau sendiri lah, namanya anak kecil pasti pengennya bisa selalu dekat dengan orang tuanya.
Momen-momen ayah pulang ke rumah adalah momen paling membahagiakan. Tidak hanya untuk saya, tapi untuk kami sekeluarga. Ayah memang sosok yang paling dirindukan dan dinanti kepulangannya di keluarga kami.
Selain senang karena ayah kembali pulang, hal lain yang menambah kebahagiaan kami adalah oleh-oleh yang ayah bawa. Biasanya ayah membawa oleh-oleh berupa barang khas daerah yang ia kunjungi. Ada yang berupa pajangan untuk digantung di dinding rumah, tas, baju, dan lain sebagainya. Untuk saya ayah pernah memberikan oleh-oleh berupa ikat rambut etnik, pena bambu, tas etnik, topi, kaca mata, dan beberapa benda lainnya.
Yang tak pernah absen dibawa ayah adalah album foto perjalannya. Ini sebenarnya oleh-oleh yang paling ditunggu. Foto-foto selama ayah bepergian, biasanya saat pulang ke rumah, ia akan mencetaknya terlebih dahulu dari tustel (kamera jaman dulu, menggunakan roll film) miliknya, kemudian membawanya pulang dan kami akan saling berebut untuk menjadi yang pertama yang melihatnya.
Ayah tak pernah lupa mendokumentasikan perjalanannya dalam bentuk foto |
Tulisan Lombok di baju ayah cukup membuat saya penasaran dengan tempat itu. |
Anak kampung yang tak pernah melihat laut secara langsung, melihat foto ayah seperti ini membuat saya berkata dalam hati : kalau besar nanti, aku mau mengunjungi tempat-tempat yang ada lautnya. |
And now, inilah saya. Perempuan kampung dari pedalaman Asahan yang dulu nekat berangkat ke Medan untuk kuliah. Perempuan yang pernah bela-belain pinjam uang cuma supaya bisa traveling *hal gila yang nggak perlu ditiru ya*. Yang pernah bela-belain kerja jadi sales kartu perdana seusai jam kuliah buat nabung beli kamera digital. Semua itu karena sebuah tustel (kamera) dan foto-foto yang dihasilkannya. Foto-foto perjalanan ayah saya yang saya lihat semasa kecil dan menginspirasi saya untuk melangkah ke banyak tempat dan mengabadikan berbagai momen lewat kamera.
1 tempat, beda lokasi foto. Atas : ayah saya dan teman-temannya. Bawah : saya sendiri. Btw foto saya kok kayak tempelan ya, padahal itu asli loh :D |
Nyatanya, kamera jadul milik ayah tidak hanya menghasilkan foto-foto yang menjadikan suatu momen seakan abadi. Tetapi juga menginspirasi saya. Karena inspirasi dan keinginan melihat dunia yang lebih luas lagi lah yang membuat saya termotivasi untuk kuliah. Karena kamera dan foto-foto perjalanan ayah, saya menjadi satu-satunya sarjana di keluarga kami. Setidaknya untuk saat ini, saya satu-satunya anak ayah yang pernah menginjak pulau lain selain Sumatera. Satu-satunya yang punya paspor dan pernah keluar negeri. Itu semua berawal dari kamera dan foto yang dihasilkannya.
Atas : ayah saya. Bawah : saya saat menyeberang ke Pulau Weh |
Thanks Dad, udah menginspirasi anakmu ini untuk berani berjalan lebih jauh. |
Sekarang, seiring perkembangan jaman, kamera sudah tak seribet dulu lagi. Tak harus menunggu lama untuk bisa melihat hasil foto. Tak perlu mengintip dari cela kecil ketika memotret. Era digital membuat segalanya jadi lebih praktis. Tak hanya kehadiran kamera digital, ponsel pun saat ini telah dilengkapi dengan fitur kamera yang canggih yang memungkinkan orang-orang untuk mengambil foto dimana saja dan kapan saja.
Mengabadikan momen menggunakan kamera ponsel saat mengunjungi Air Terjun Sipiso-Piso |
Kebiasaan mencetak foto sudah mulai ditinggalkan orang karena lebih praktis melihat di layar ponsel. Tapi saya justru masih sering melakukannya. Tiap pulang kampung, salah satu hal yang tak lupa saya lakukan adalah mencetak foto-foto saya. Juga foto keluarga (orang tua, abang, kakak ipar, dan keponakan). Ponakan-ponakan saya akan saling berebut untuk jadi yang pertama yang melihat, sama seperti saya dulu bersama abang-abang saya ketika ayah mengeluarkan album foto terbarunya.
Beberapa foto yang saya cetak sebelum pulang kampung |
Baca Juga : Bunga-Bunga Indah dalam Jepretan Dinda, Si Fotographer Cilik
Kenapa saya membebaskan ponakan bermain dengan ponsel yang tidak murah? Kenapa juga saya repot-repot merogoh kocek untuk mencetak foto-foto perjalanan saya? Itu semua karena saya ingin berbagi inspirasi. Sama seperti ayah saya menginspirasi saya. Lewat foto-foto itu, saya ingin keponakan saya bisa melihat betapa bumi yang mereka tempati ini menawarkan banyak hal. Bahwa mereka juga bisa menjadi apapun atau pergi kemanapun selagi mereka punya kemauan yang kuat.
Yang kiri adalah foto kaki Dinda, ponakan saya yang terinspirasi dari foto kaki di ponsel saya |
Karena setelah besar saya akhirnya sadar, traveling tak sekedar mengunjungi tempat-tempat indah, tapi juga mendapatkan berbagai pengalaman berharga yang menjadikan kita pribadi yang lebih luwes dalam bergaul, terbuka dalam berpikir, dan bertoleransi terhadap perbedaan. Saya ingin keponakan-keponakan saya juga menyadarinya kelak.
Lewat foto ini saya mencoba menjelaskan ke keponakan saya bahwa kita harus melawan rasa takut dalam diri kita. |
Mungkin kalau dulu ayah saya tak mencetak fotonya kala berdiri di karang di pinggir laut, saya pun tak akan kepikiran untuk mengunjungi tempat-tempat menakjubkan seperti dalam foto ini :) |
Lewat foto-foto yang saya cetak dan tersimpan di memori ponsel pula lah akhirnya kesukaan saya jalan-jalan tertular ke anggota keluarga yang lain. Tidak hanya keponakan, tetapi juga ibu dan abang saya. Alhasil tiap momen berkumpul keluarga seperti lebaran, tahun baru, dan libur sekolah, salah satu yang dibicarakan adalah destinasi jalan-jalan yang hendak dituju. Seringnya sih di sekitaran kota kabupaten saja. Tapi itupun sudah cukup membuat kebersamaan menjadi menyenangkan dan berkesan.
Saat berlibur ke Kebun Binatang Siantar |
Di sela-sela kebersamaan itu, ada perbincangan-perbincangan yang kalau diingat membuat saya suka senyum-senyum sendiri. Misalnya saja celotehan keponakan saya, Rufa :
“Nde.. oo Nde, adekku punya tahi lalat juga loh di kaki. Sama kayak Unde. Kata bundaku nanti adek besarnya sama kayak Unde, tukang jalan-jalan.”
Adeknya Rufa yang katanya kalau besar bakal jadi tukang jalan-jalan seperti saya |
“Aku pengen jadi dokter Nde. Kalau nggak jadi dokter, aku pengen jadi pilot biar bisa jalan-jalan kayak Unde. Tapi sebenarnya aku pengen juga jadi polisi, cuma opung (kakek) gak suka kalau aku jadi polisi, mungkin karena gigiku gufis. Jadi aku mau jadi pilot aja. Kalau nggak jadi pilot juga, aku jualan jeruk aja lah Nde. Eh tapi aku pengen jadi kayak Unde, bisa jalan-jalan.”
Saya ngekeh dengarnya, entah kapan opungnya (almarhum ayah saya) bilang nggak suka dia jadi polisi, dan herannya dia mikirnya opungnya nggak suka karena giginya gufis (rusak, bolong, ompong). Yang paling bikin ngekeh waktu dia bilang jadi penjual jeruk, entah sejak kapan jadi penjual jeruk jadi cita-cita. Tapi saya tetap mengaminkan cita-citanya, siapa tau jual jeruknya berton-ton sampai ke luar negeri, alias pengekspor jeruk. Kan lumayan bisa meningkatkan prestige jeruk Indonesia di mata dunia :D
Lain Rufa, lain pula Dinda, keponakan saya perempuan. Dia paling sering tanya-tanya lokasi tempat saya berfoto, nama makanan ataupun minuman yang saya foto, lalu berujung pada protes kenapa dirinya tak diajak saat saya mengunjungi tempat itu.
“Unde jalan-jalan ke pulau nggak ngajak-ngajak.”
Foto yang mengundang protes : Unde jalan-jalan ke pulau nggak ngajak-ngajak, wkwkwkkw |
“Haduuh.. gara-gara liat foto makanan di handphone Unde jadi kepingin makan aku.”
“Nek.. tengoklah nek, banyak kali makanannya.” (sambil menyodorkan foto makanan di ponsel saya ke ibu saya).
Nah kalau ini foto yang bikin Dinda jadi kepengen makan :D |
Kalau ibu saya beda lagi, beliau sekarang jadi suka bicarain tempat wisata. Jika ada tempat wisata yang baru dikunjunginya di sekitaran kabupaten Asahan, dia bakal semangat cerita dan menyarankan saya untuk mengunjunginya juga.
Hingga saat ini, saya belum bisa mengajak keluarga saya liburan ke luar pulau. Masih di sekitaran Sumut saja. Tapi dengan foto-foto hasil jepretan kamera ponsel saya, saya berusaha untuk berbagi ke mereka. Saya berusaha menunjukkan bahwa ada banyak hal di luar sana yang menunggu untuk kita hampiri. Foto-foto di kamera ponsel saya yang tak melulu berisikan foto perjalanan, tetapi juga kegiatan saya sehari-hari : berkumpul bersama teman, mengikuti sebuah seminar, atau bahkan saat sedang lari sore. Saya bebaskan keponakan dan keluarga saya melihat-lihat galeri foto di ponsel saya. Siapa tau, pada satu atau dua foto disana, Tuhan meniupkan inspirasi untuk mereka. Inspirasi untuk hal-hal baik, pilihan-pilihan baik dari mereka, sekarang, dan di masa depan.
Dinda, Rufa, kakak ipar, ibu, dan abang saya saat kami jalan-jalan ke Kebun Teh Sidamanik. |
Tak hanya saat narsis seorang diri, foto-foto bersama teman pun sering saya cetak saat hendak pulang kampung |
Foto-foto menggunakan kamera ponsel saat hang out bersama sahabat juga saya bagi ke ponakan dan keluarga, siapa tau dari salah satu foto yang saya bagi, ada inspirasi yang mereka dapat. |
Kamera ponsel saya memang tak secanggih kamera pada ponsel Zenfone 2 Laser ZE550KL, tapi begitupun saya tetap bersyukur memilikinya meski kamera sekundernya (kamera depan) kualitasnya kurang bagus. Selama ini, kamera ponsel saya sudah menemani hari-hari dan menjadi alat untuk menyalurkan hobi motret saya.
Kamera ponsel saya belum secanggih kamera Zenfone 2 Laser, tapi begitupun tetap disyukuri. Moga-moga ke depan ada rejeki dapat Zenfone 2 Laser (aamiin). |
Ini sekelumit cerita Aku dan Kamera Ponsel : Mengabadikan Momen Sekaligus Berbagi Inspirasi. Apa cerita kalian?!
‘Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com’