SEMOGA KITA MENIKAH TAHUN INI : TENTANG PERTANYAAN KAPAN NIKAH DAN UNDANGAN PESTA NIKAH
01.41
Semoga Kita Menikah Tahun Ini : Tentang Pertanyaan Kapan Nikah dan Undangan Pesta Nikah
Sudah setahunan ini perbincangan kami selalu berkutat tentang jodoh dan pekerjaan. Apalagi jika ada salah satu teman kuliah kami yang menikah, otomatis perbincangan lagi-lagi membahas tentang jodoh. Memang, di antara teman-teman sekelas saat kuliah, tinggal kami berdua dan seorang teman lagi yang belum menikah *yang satu ini pun sepertinya akan menikah, postingan si akun sosmednya banyak foto-fotonya bersama kekasih*. Yang lainnya sudah menikah dan punya anak.
Teman-teman sekolah saya jangan ditanya, anaknya bahkan ada yang sudah SD. Ada yang sudah janda. Ada pula yang sudah menikah 2 kali. Lalu, kenapa ya saya kok masih melajang hingga kini?!
“Kapan nikah?!”
“Nyari yang model gimana sih? Jangan kebanyakan milih.”
“Ingat umur!”
“Apalagi yang kau tunggu, tinggal kau loh yang belum nikah di antara kita”
Di usia saya saat ini, pertanyaan-pertanyaan senada di atas seringkali menghampiri. Entah itu dari teman yang baru beberapa hari kenal, teman sepermainan, teman dekat, hingga keluarga. Semua gencar bertanya kapan nikah. Entah memang peduli, atau sekedar kepo.
Bahkan ada teman semasa sekolah yang sudah lama tak bertemu tiba-tiba sms dan menanyakan kapan saya nikah. Tanpa basa-basi sekedar nanya kabar atau mengucapkan ‘hai’.
Apa rasanya mendapati pertanyaan kapan nikah di usia antara 25-30 tahun?!
Jawabannya tentu tidak enak. Pertanyaan kapan nikah ini sama mengerikannya dengan pertanyaan kapan wisudah bagi mahasiswa tingkat akhir. Memberi efek uring-uringan bagi si penerima pertanyaan. Beneran loh, pertanyaan kapan itu seperti momok. Entah itu kapan wisudah, kerja, nikah, punya anak dan kapan kapan lainnya.
Mungkin buat si penanya, pertanyaan itu hanya sekedar pertanyaan. Sebagian mengatakan karena merasa peduli jadi mengingatkan. Tapi disadari atau tidak, pertanyaan tersebut justru menjadi beban dan tekanan besar bagi si penerima pertanyaan.
Seorang sahabat saya yang lain sampai bela-belain ngekos di Medan cuma untuk menghindari pertanyaan kapan nikah dari keluarganya. Ada juga seorang kakak yang statusnya galau melulu tiap hari. Usut punya usut ternyata dia stress mikirin kapan nikah. Pacaran sudah mau 7 tahun tapi belum juga naik pelaminan. Saat ini si pacar tengah berusaha menabung untuk menikahinya *tau sendiri kan biaya pesta nikah itu nggak murah*. Tapi dia mengaku sudah sangat malu kalau ditanya-tanya keluarganya. Perasaan malu ini menjadikannya enggan menghadiri acara kumpul-kumpul keluarga karena pembahasannya pasti tentang kapan dirinya mengakhiri masa lajang.
Cerita lain yang membuat saya sedih adalah seorang sahabat yang akhirnya menikmati jalinan asmara penuh risiko. Mencintai suami orang. Teman-teman di tempat kerjanya sudah tau. Istri kekasihnya juga sudah tau. Mereka bahkan sudah duduk bertiga, mencoba menyelesaikan masalah secara baik-baik. Tapi teman saya sudah terlanjur masuk dan menikmatinya. Ia bahkan sudah mengenalkan pria itu ke keluarga dan beberapa teman lain *tentu saja sebagai lajang*. Hubungan mereka berlanjut walau sama-sama tahu ini salah.
Saya sedih namun hanya bisa mendoakan. Saya tidak setuju dengan tindakannya namun hanya bisa mengingatkan. Mungkin kalian pun akan menyalahkan. Mengatakannya cewek bodoh. Tapi tahukah, semua ini berawal dari pertanyaan kapan itu. Kapan nih ngenalin pacarnya? Kapan nikah? Pertanyaan yang akhirnya membuat sahabat saya getol lirik cowok sana-sini. Mencoba menyapa duluan. PDKT. Lalu berakhir dengan kecewa. Sampai akhirnya bertemu si abang yang ternyata sudah milik orang. Sementara ia sudah bosan dengan berbagai pertanyaan. Ia lelah menjawab sekenanya. Hingga hatinya berkata “masa bodoh, aku hanya ingin senang.”
Mungkin sahabat saya memang salah. Tapi kita pun kadang tak sadar telah ikut andil menjadi faktor pendukung kesalahan-kesalahan orang lain. pertanyaan-pertanyaan yang sepele menurut kita, bisa jadi membuat orang lain begitu terbebani olehnya.
Oke, balik ke saya. Saya pribadi *yang juga sering mendapat pertanyaan kapan nikah* sebenarnya masih enjoy dengan hidup saya sekarang. Saya masih menikmati apa yang Tuhan sajikan untuk hidup saya saat ini. Masih nyantai kalau ada yang nanya kapan nikah oleh teman. Tapi jika sudah keluarga yang bertanya, baru deh kepala langsung tuing tuing. Berasa pengen minggat. Atau pura-pura tuli :D
Iya, saya lumayan terbebani kalau pertanyaan itu muncul dari keluarga. Apalagi kalau yang bertanya dari yang golongan senior alias orangtua, habislah saya. Cuma bisa diam seperti terpidana dengan dakwaan nyuri sandal di masjid :D
Bukan apa-apa, menjawab pertanyaan orangtua ini seperti makan buah simalakama. Jawaban pro, naluri menasehatinya bakal muncul, alhasil kalah dosen 4 sks, kita pun sampai terkantuk-kantuk mendengarnya sambil berlagak antusias. Kalau kita jawab kontra malah lebih parah, secara mereka merasa lebih tua dan lebih berpengalaman. Istilahnya lebih banyak makan asam garam. Bakal lebih lama lagi ceramahnya.
Tapi yang lebih sedih dan membebani perasaan itu kalau si Emak udah bawa-bawa umur. Haduuuh… walau reaksi saya kelihatannya santai dan cuma cengengesan di depan Emak, dalam hati mencelos juga.
Kadang saya jadi mikir juga. Apa saya harus segera berumahtangga hanya karena teman-teman saya banyak yang sudah menikah. Apa saya harus menikah hanya karena ditanya-tanya kapan nikah? Yang nikah kan saya. Yang menjalani nanti juga saya. Lalu kenapa keputusan segera menikah justru terpengaruh oleh reaksi di luar diri kita. Oleh sikap orang-orang di sekeliling kita. Kalau pertanyaan kapan nikah itu muncul dengan alasan care, apa jika nanti kita menghadapi masalah dalam rumah tangga kita mereka juga akan care? Atau hanya sekedar kepo nanya-nanya tanpa peduli perasaan kita.
Saya bukannya tak ingin menikah. Saya bahkan punya impian indah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tapi bukankah segalanya adalah ketentuan Allah. Sebesar apapun keinginan saya, jika memang belum waktunya, ya tak akan terjadi pernikahan. Jadi saya nikmati saja hidup saya saat ini. jika dipertemukan dengan orang yang klik di hati dan mengajak menikah, ya hayuk. Kalau ternyata masih harus sendiri ya its oke. Palingan pura-pura sibuk kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga :D
Ehm.. kok jadi serius gini ya :D ganti topik ah!
Btw, ngomong-ngomong masalah teman yang menikah. Nggak tau kenapa tahun kemarin dan tahun ini banyak banget teman yang nikah. Tahun 2016 baru berjalan 3 bulan tapi entah sudah berapa undangan nikahan yang saya terima. Kalau nggak undangan nikah, ya undangan syukuran kelahiran anaknya teman yang nikah tahun lalu.
Saking banyaknya yang nikahan dan syukuran lahiran, undangan sampai double. Sabtu, 5 Maret 2016 kemarin malah ada 3 teman yang nikah. Hmm.. undangan terus, giliran ngundangnya kapan *pasti pada nanya gitu kan. Ah, saya sudah sering ditanya gini. Nggak ada pertanyaan lain :P*
Banyaknya undangan pesta kadang jadi pikiran juga loh. Selain mirikin budget undangan, milih kado yang tepat, dan tentunya mikirin mau undangan sama siapa. Kan miris kalau undangan ke pesta pernikahan trus kitanya datang sendirian. Bisa-bisa seperti pribahasa “sudah baper tertimpa pertanyaan” eh salah, maksudnya : sudah jatuh tertimpah tangga. Sudah datangnya sendiri, trus baper liat pasanganan di pelaminan, ditambah lagi dapat pertanyaan datang ama siapa, kapan nyusul. So, cari partner dulu lah buat nyelamatin gengsi diri *dasar manusia, gengsi aja digedein*.
Eh, ada satu lagi nih yang bikin pusing kalau mau undangan pesta : baju. Tau sendiri kan ya yang namanya pesta. Nggak ada keharusan untuk pakai baju pesta. Tapi pasti bakal dapat tatapan dengan kening berkerut kalau kita datangnya pakai baju layaknya orang mau naik gunung. Saya yang dulunya aslinya nggak begitu memperhatikan penampilan, lama-lama jadi kepikiran juga tiap mau ke pesta. Jadi suka berlama-lama di depan lemari. Mencari-cari baju yang cocok. Kalau dulu sih enjoy aja pakai jeans dan shirt seragam komunitas. Perginya rame-rame dan kompakan. Jadi pede aja. Tapi sekarang pengundangnya beragam. Nggak hanya teman komunitas atau organisasi. Tapi teman hangout, teman kerja, sampai rekan bisnis yang pernah kerjasama dengan saya.
Banyaknya undangan pesta pernikahan membuat saya mau tidak mau kepikiran juga akan mengenakan pakaian yang mana. Jangan sampai pakaian yang minggu kemarin saya kenakan ke pesta si A, saya pakai lagi minggu ini di pesta si B, ntar ketauan kalau koleksi baju pesta saya terbatas. Saya pun akhirnya jadi sering main ke blognya fashion blogger untuk cari ide padu padan baju pesta. Selain itu, saya juga rajin liat koleksi baju muslim pesta di ZALORA.
Ada banyak koleksi baju muslim pesta di ZALORA. Saya bebas melihat-lihat dan mencari yang sesuai selera. Nggak perlu buang waktu nge-mall, tinggal klik website-nya sudah tersaji berbagai pilihan baju muslim pesta yang modis dan trendi. Saya jadi nggak perlu bingung-bingung lagi mau pakai baju apa. Di ZALORA, masalah baju buat kondangan pun terselesaikan. Tinggal berangkat dan berdo’a, semoga ketemu jodoh di pesta biar bisa cepat-cepat ngundang dan nggak perlu baper lagi :D
Pertanyaan kapan nikah dan undangan pesta nikah adalah 2 hal yang berbeda namun masih berhubungan dan sering menimbulkan efek yang sama bagi para jomblo : baper. Untuk sahabat-sahabat saya yang resah karena selalu ditanya kapan nikah, semoga kita menikah tahun ini, aamiin.
Apapun itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah, tetap nikmati hidup dan hindari bertanya. Karena kita tidak sedang tersesat atau mencari alamat.
Punya pengalaman ditanya kapan nikah dan undangan ke pesta pernikahan?! Ceritain dong.
Warning!
Postingan kali ini mengandung unsur curhat. Bisa menyebabkan baper bagi mereka yang jomblo dan sering mendapat pertanyaan “kapan nikah?”. Namun begitu tetap dianjurkan untuk membaca postingan ini hingga selesai agar menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan. Dan buat yang sering bertanya kapan nikah ke orang-orang di sekitarnya, juga dianjurkan untuk membaca sampai habis supaya tau gimana nggak enaknya mendapat pertanyaan tersebut. Semoga kita semua mendapat jodoh yang membahagiakan dunia akhirat. Aamiin!
Semoga Ini Tahun Terakhir Kita Melajang…
Begitu bunyi salah satu kalimat yang dilontarkan seorang sahabat saya semasa kuliah lewat percakapan melalui inbox FB. Berawal dari ucapan selamat ulang tahun saya untuknya, obrolan kami pun berlanjut hingga ke berbagai hal. Menanyakan kabar, kota tinggal, pekerjaan, hingga urusan jodoh.berawal dari ucapan ultah, jadi ngobrol sampai masalah jodoh |
Teman-teman sekolah saya jangan ditanya, anaknya bahkan ada yang sudah SD. Ada yang sudah janda. Ada pula yang sudah menikah 2 kali. Lalu, kenapa ya saya kok masih melajang hingga kini?!
“Kapan nikah?!”
“Nyari yang model gimana sih? Jangan kebanyakan milih.”
“Ingat umur!”
“Apalagi yang kau tunggu, tinggal kau loh yang belum nikah di antara kita”
Di usia saya saat ini, pertanyaan-pertanyaan senada di atas seringkali menghampiri. Entah itu dari teman yang baru beberapa hari kenal, teman sepermainan, teman dekat, hingga keluarga. Semua gencar bertanya kapan nikah. Entah memang peduli, atau sekedar kepo.
Bahkan ada teman semasa sekolah yang sudah lama tak bertemu tiba-tiba sms dan menanyakan kapan saya nikah. Tanpa basa-basi sekedar nanya kabar atau mengucapkan ‘hai’.
Apa rasanya mendapati pertanyaan kapan nikah di usia antara 25-30 tahun?!
Jawabannya tentu tidak enak. Pertanyaan kapan nikah ini sama mengerikannya dengan pertanyaan kapan wisudah bagi mahasiswa tingkat akhir. Memberi efek uring-uringan bagi si penerima pertanyaan. Beneran loh, pertanyaan kapan itu seperti momok. Entah itu kapan wisudah, kerja, nikah, punya anak dan kapan kapan lainnya.
Mungkin buat si penanya, pertanyaan itu hanya sekedar pertanyaan. Sebagian mengatakan karena merasa peduli jadi mengingatkan. Tapi disadari atau tidak, pertanyaan tersebut justru menjadi beban dan tekanan besar bagi si penerima pertanyaan.
Seorang sahabat saya yang lain sampai bela-belain ngekos di Medan cuma untuk menghindari pertanyaan kapan nikah dari keluarganya. Ada juga seorang kakak yang statusnya galau melulu tiap hari. Usut punya usut ternyata dia stress mikirin kapan nikah. Pacaran sudah mau 7 tahun tapi belum juga naik pelaminan. Saat ini si pacar tengah berusaha menabung untuk menikahinya *tau sendiri kan biaya pesta nikah itu nggak murah*. Tapi dia mengaku sudah sangat malu kalau ditanya-tanya keluarganya. Perasaan malu ini menjadikannya enggan menghadiri acara kumpul-kumpul keluarga karena pembahasannya pasti tentang kapan dirinya mengakhiri masa lajang.
Cerita lain yang membuat saya sedih adalah seorang sahabat yang akhirnya menikmati jalinan asmara penuh risiko. Mencintai suami orang. Teman-teman di tempat kerjanya sudah tau. Istri kekasihnya juga sudah tau. Mereka bahkan sudah duduk bertiga, mencoba menyelesaikan masalah secara baik-baik. Tapi teman saya sudah terlanjur masuk dan menikmatinya. Ia bahkan sudah mengenalkan pria itu ke keluarga dan beberapa teman lain *tentu saja sebagai lajang*. Hubungan mereka berlanjut walau sama-sama tahu ini salah.
Saya sedih namun hanya bisa mendoakan. Saya tidak setuju dengan tindakannya namun hanya bisa mengingatkan. Mungkin kalian pun akan menyalahkan. Mengatakannya cewek bodoh. Tapi tahukah, semua ini berawal dari pertanyaan kapan itu. Kapan nih ngenalin pacarnya? Kapan nikah? Pertanyaan yang akhirnya membuat sahabat saya getol lirik cowok sana-sini. Mencoba menyapa duluan. PDKT. Lalu berakhir dengan kecewa. Sampai akhirnya bertemu si abang yang ternyata sudah milik orang. Sementara ia sudah bosan dengan berbagai pertanyaan. Ia lelah menjawab sekenanya. Hingga hatinya berkata “masa bodoh, aku hanya ingin senang.”
Mungkin sahabat saya memang salah. Tapi kita pun kadang tak sadar telah ikut andil menjadi faktor pendukung kesalahan-kesalahan orang lain. pertanyaan-pertanyaan yang sepele menurut kita, bisa jadi membuat orang lain begitu terbebani olehnya.
Oke, balik ke saya. Saya pribadi *yang juga sering mendapat pertanyaan kapan nikah* sebenarnya masih enjoy dengan hidup saya sekarang. Saya masih menikmati apa yang Tuhan sajikan untuk hidup saya saat ini. Masih nyantai kalau ada yang nanya kapan nikah oleh teman. Tapi jika sudah keluarga yang bertanya, baru deh kepala langsung tuing tuing. Berasa pengen minggat. Atau pura-pura tuli :D
Iya, saya lumayan terbebani kalau pertanyaan itu muncul dari keluarga. Apalagi kalau yang bertanya dari yang golongan senior alias orangtua, habislah saya. Cuma bisa diam seperti terpidana dengan dakwaan nyuri sandal di masjid :D
Bukan apa-apa, menjawab pertanyaan orangtua ini seperti makan buah simalakama. Jawaban pro, naluri menasehatinya bakal muncul, alhasil kalah dosen 4 sks, kita pun sampai terkantuk-kantuk mendengarnya sambil berlagak antusias. Kalau kita jawab kontra malah lebih parah, secara mereka merasa lebih tua dan lebih berpengalaman. Istilahnya lebih banyak makan asam garam. Bakal lebih lama lagi ceramahnya.
Tapi yang lebih sedih dan membebani perasaan itu kalau si Emak udah bawa-bawa umur. Haduuuh… walau reaksi saya kelihatannya santai dan cuma cengengesan di depan Emak, dalam hati mencelos juga.
Kadang saya jadi mikir juga. Apa saya harus segera berumahtangga hanya karena teman-teman saya banyak yang sudah menikah. Apa saya harus menikah hanya karena ditanya-tanya kapan nikah? Yang nikah kan saya. Yang menjalani nanti juga saya. Lalu kenapa keputusan segera menikah justru terpengaruh oleh reaksi di luar diri kita. Oleh sikap orang-orang di sekeliling kita. Kalau pertanyaan kapan nikah itu muncul dengan alasan care, apa jika nanti kita menghadapi masalah dalam rumah tangga kita mereka juga akan care? Atau hanya sekedar kepo nanya-nanya tanpa peduli perasaan kita.
Saya bukannya tak ingin menikah. Saya bahkan punya impian indah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tapi bukankah segalanya adalah ketentuan Allah. Sebesar apapun keinginan saya, jika memang belum waktunya, ya tak akan terjadi pernikahan. Jadi saya nikmati saja hidup saya saat ini. jika dipertemukan dengan orang yang klik di hati dan mengajak menikah, ya hayuk. Kalau ternyata masih harus sendiri ya its oke. Palingan pura-pura sibuk kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga :D
Ehm.. kok jadi serius gini ya :D ganti topik ah!
Btw, ngomong-ngomong masalah teman yang menikah. Nggak tau kenapa tahun kemarin dan tahun ini banyak banget teman yang nikah. Tahun 2016 baru berjalan 3 bulan tapi entah sudah berapa undangan nikahan yang saya terima. Kalau nggak undangan nikah, ya undangan syukuran kelahiran anaknya teman yang nikah tahun lalu.
Saking banyaknya yang nikahan dan syukuran lahiran, undangan sampai double. Sabtu, 5 Maret 2016 kemarin malah ada 3 teman yang nikah. Hmm.. undangan terus, giliran ngundangnya kapan *pasti pada nanya gitu kan. Ah, saya sudah sering ditanya gini. Nggak ada pertanyaan lain :P*
Salah satu undangan pesta nikah. Jauh guys, Tebingtinggi :D |
Nge-jeans dan T-Shirt kompakan komunitas |
Baju muslim pesta ala cewek-cewek Blog M (Blogger Medan) |
Koleksi baju muslim pesta ZALORA |
Koleksi baju muslim pesta ZALORA |
Apapun itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah, tetap nikmati hidup dan hindari bertanya. Karena kita tidak sedang tersesat atau mencari alamat.
Punya pengalaman ditanya kapan nikah dan undangan ke pesta pernikahan?! Ceritain dong.
2 komentar
justru iyah kadang ngerasa gimana gitu masih umur belasan udah di undang nikahan sana-sini kak, baper juga sih tapi malah sedih "belum cukup umur" hihihi
BalasHapusiyah yang usia belasan aja baper, apalagi kami yang usianya puluhan hihihii...
Hapus