Pada siapa ia bercerita?! |
Pada Siapa Ia Bercerita?! : Waktu itu pagi menjelang siang. Ada tiga orang di ruang tersebut. Saya salah satunya. Saya dan seorang teman terlibat suatu obrolan yang sebenarnya sudah pernah kami bahas sebelumnya. Bedanya biasanya kami membahasnya lewat WA ataupun via telfon. Kali ini ngobrol langsung. Yang seorang lagi adalah perempuan yang sudah saya kenal sejak ia masih kanak-kanak dan sekarang tengah beranjak remaja.
Ia baru pulang sekolah dan mengaku lapar. Pelajaran olah raga membuatnya cepat lapar hari itu padahal belum waktunya makan siang. Beruntung hari itu mereka pulang cepat, jadi bisa makan di rumah. Itu sebabnya ia terlalu asik dengan piringnya. Seakan tak peduli dengan perbincangan kami.
Perbincangan kami, seperti yang sudah saya katakan, adalah perbincangan yang sebelumnya pernah kami bahas beberapa kali. Namun tetap saja perbincangan kali ini tak mengurangi antusiasme kami.
Ini tentang sahabat kami yang menarik diri. Susah dihubungi. Tak pernah mengangkat telfon meski sudah berpuluh kali ditelfon. Tak membalas SMS ataupun WA. BBM yang dikirimkan beberapa hari lalu pun hingga kini belum di-read.
Ini bukan pertama kalinya sahabat kami itu berulah seperti ini. Sudah berkali-kali. Saya pernah beberapa kali mendatanginya ke rumah saat ia memutus komunikasi. Tapi kali ini tak saya lakukan karena saya pun sedang ada sesuatu yang mengganggu pikiran.
Kami berdua sebenarnya paham. Sahabat kami tercinta itu berlaku demikian bukan tanpa sebab. Ia sebenarnya tengah dalam masa ujian kenaikan kelas dari Sang Raja Semesta. Kami pun mengerti, tak selamanya manusia mampu berdiri tegak menghadapi ujian demi ujian. Namun kami seakan tak rela ketika ia menarik diri dan tak memberi kabar. Kami prihatin tapi juga kesal dan marah. Seenaknya dia memutus komunikasi. Memangnya cuma dia yang punya masalah, kami juga. Bukankah sebaiknya ia terbuka dan cerita, siapa tau kami bisa membantu. Atau setidaknya ia jadi sedikit lega karena sudah cerita.
Perbincangan kami semakin seru. Kami terus mencari sebab musabab sahabat kami itu menarik diri. Mengingat-ingat kapan kami terakhir komunikasi. Dan apa kira-kira badai besar yang sebenarnya tengah ia hadapi. Sebab selama ini kami hanya tau ia tengah ada masalah, tanpa tau mana yang paling memukul telak ketegarannya.
“Coba lah kau pikir, sama siapa lagi dia cerita kalau menarik diri dari kita kekgini?” teman bicara saya berucap. Saya manggut-manggut namun mencoba memberi jawaban netral. Tak ingin ia makin terbawa emosi.
“Kalau aku sih nggak masalah dia menarik diri dari kita, asal masih ada orang-orang yang jadi tempat dia terbuka. Kalau menarik diri dari semuanya…”
“Semuanya! Dia menarik diri dari semuanya loh. Nggak cuma sama kita, sama yang laen juga dia menarik diri (menyebutkan beberapa nama teman kami yang berada dalam lingkarannya). Coba lah kau pikir, mau sama siapa dia cerita kalau nggak sama kita-kita. Kalau dia menarik diri gini mau cerita sama siapa dia?!” ia berucap berapi-api.
“Sama Tuhan.”
Gadis yang tengah beranjak remaja yang sedari tadi asik menikmati makanannya itu berucap santai di antara kunyahannya. Kami berdua terdiam beberapa saat.
“Ya… iya sama Tuhan,” ucap teman saya dengan nada suara menurun.
“Iya kalau sama Tuhan,” ucapnya lagi, diiringi tawa. Saya pun ikut tertawa.
“Ya kita doakan aja dia ceritanya sama Tuhan,” ucap saya akhirnya.
Cerita sama Tuhan. Saya kok jadi merasa jleb sendiri saat mendengar gadis yang tengah beranjak remaja itu mengatakan kalimat itu. Apalah saya ini kok ya sombong banget ngerasa diperlukan oleh sahabat saya. Sampai-sampai harus marah saat ia menarik diri. Memangnya siapa saya? Memangnya selama ini kehadiran saya di sisi sahabat saya benar-benar telah meringankan bebannya. Atau sebaliknya, hanya membuat hatinya sesak dengan kalimat-kalimat sok menasehati. Atau kalimat-kalimat bernada men-judge *seandainya pun tak berniat demikian, bisa jadi kan hal tersebut yang ia rasakan*
Saya kok ya seakan lupa kalau Tuhan adalah tempat terbaik menumpahkan segala keresahan hati. Tuhan adalah jalan keluar dari semua masalah. Kenapa saya hanya merisaukan kealfaan sahabat saya bercerita? Bukan kah lebih baik saya mendoakan ia saja agar ketika ia menarik diri dari lingkungannya, ia menemukan tempat yang tempat untuk mengadu : Tuhan.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, benarkah saya care dengan sahabat saya itu, atau saya hanya sedang menjaga wibawa agar ketika orang bertanya “Si pulan gimana kabarnya?” saya bisa menjawab dengan fasih. Agar orang-orang berpikir bahwa saya adalah salah satu orang yang paling tau keadaan sahabat saya itu. Benarkah saya peduli? Atau sebenarnya hanya dorongan keingintahuan semata?
Lupa. Saya seakan lupa pernah berada di posisi sahabat saya. Masa-masa dimana saya merasa orang-orang hanya datang untuk men-judge, sebagian besar ngoceh dengan rangkaian kalimat bak Mario Teguh.
Masa-masa itu adalah dimana menurut saya peduli dan kepo itu beda tipis hingga saya sering merasa terkecoh. Orang-orang yang datang saya pikir peduli, nyatanya hanya penasaran. Mungkin memang ada yang benar-benar tulus peduli. Tapi entah kenapa kala itu saya muak dengan kepedulian yang hanya berupa pertanyaan dan atau kata-kata mutiara saja.
“Karena aku peduli”
Kalimat itu menjadi kalimat yang saya benci kala itu. Karena nyatanya saya merasa tak ada yang benar-benar peduli. Kepedulian hanya sebatas ucapan. Sementara menurut saya peduli adalah tindakan. Peduli itu harusnya tulus. Nyatanya kebanyakan orang membuat syarat, musti diceritain dulu masalahnya apa baru mau maklum.
Misalnya saja saat kita melihat seorang kawan kos uring-uringan. Malas makan. Respon orang di sekitarnya berbeda-beda.
A : Makan, nanti sakit loh!
B : Kau kenapa, kok nggak semangat?! Cerita lah!
C : Nelfonin kawan-kawannya suruh ke rumah, bawa makanan. Gitu semua nyampe rumah, ajak si kawan yang uring-uringan buat makan bareng-bareng, rame-rame. Seolah nggak tau dia ada masalah. Bersikap biasa. Becanda ketawa-ketiwi kayak biasa.
Saya dulu berharap ada orang seperti C. yang nggak bertanya saya kenapa, yang nggak bilang kalau dia peduli, tapi dia berpikir dan mencari cara agar temannya itu mau makan dan kembali tertawa. Yang mencoba menghibur, membuat temannya terhibur tanpa sadar ia memang sedang sengaja dihibur. Yang membuat saya semangat mengahadapi masalah padahal saya cerita pun tidak masalah saya apa. Yang sabar menunggu sampai saya siap dan memang ingin cerita, bukan diminta cerita.
Tapi yang saya dapati adalah orang-orang yang bertanya dan kemudian memberi rentetan kata-kata motivasi namun tak menambah sedikitpun kadar semangat dalam diri. Sampai akhirnya saya memilih diam untuk segala masalah hidup saya. Menyimpannya rapat-rapat untuk saya nikmati sendiri dan hadapi sendiri. Adakalanya saya menangis terseduh kala mengadu pada Tuhan, namun adakalanya untuk menangis pun saya tak bisa, tapi tetap mencoba percaya Tuhan selalu ada untuk siapa saja.
Saat-saat seperti itu saya biasanya meminta pada Tuhan, seterpuruk apapun saya semoga tidak membuat saya jauh dari-Nya.
Pernah. Saya pernah berada di masa seperti itu. Dan karena pernah mengalaminya, harusnya saya bisa memahami beban berat sahabat saya saat ini. Ia mungkin tengah lelah hingga untuk bercerita saja pun ia muak. Di tengah kepenatannya itu, ia pasti tak ingin mendengar berbagai pertanyaan. Ia hanya butuh dimaklumi, dan didoakan. Iya, didoakan. Bukankah doa adalah setulus-tulusnya rasa. Kala kita tak tau harus membantu apa, doa tulus kita adalah bantuan yang mudah-mudahan didukung semesta.
Duhai kamu yang tengah menarik diri, maafkan diri yang terlalu kepo ini. Ia sebenarnya hanya khawatir kamu kenapa-napa. Ia hanya ingin membantu tapi kamu menghilang. Tapi tak apa, kamu nggak perlu cerita kalau sedang tidak ingin. Kamu boleh menarik diri jika kamu masih butuh menyendiri. Akan selalu ada namamu di tiap rafal do’a, moga kamu dikuatkan sebesar apapun badai menerpa.
Pada siapa ia bercerita?! Pada Tuhan, Sang Raja Semesta.
26 komentar
Semacam terketuk untuk kembali menggelar sajadah dan berdoa setelah baca ini. Hmm
BalasHapusmenggelar sajadah dan mencurahkan segala keluh kesah ya mbak :)
Hapusikut mewek mba, rasanya perna ngalamin ini jg ;(
BalasHapustetep paking baik curhat sama Tuhan tp share sama sahabat jg perlu
iya mbak, Tuhan adalah tempat curhat terbaik. sharing ke sahabat juga bisa bikin pikiran plong ya kan mbak :)
HapusSaya termasuk golongan orang yang memilih untuk tidak bercerita sebelum masalah kelar, ketika melihat ada teman yang peduli dan ngeh kalau saya sedang dilanda masalah saja itu sudah cukup membahagiakan.
BalasHapusJadi sedikit banyak memahami kondisi teman yang menarik diri itu... ...semoga masalahnya cepat beres...
Aamiin, alhamdulillah satu masalahnya sudah terselesaikan mbak. tinggal mencari solusi terbaik untuk beberapa masalah lainnya, semoga sahabat saya itu dikuatkan, aamiin.
HapusKarena tempat terbaik untuk bercerita adalah Tuhan, mungkin kadang teman tak bisa sepenuhnya memahami suatu masalah. Ada saatnya ingin menyelesaikan masalah dulu, baru kemudian masalah yang sebenarnya terjadi.
BalasHapusaku kadang gitu juga ko, udah kelar masalahnya baru deh cerita ke temen-temen :D
HapusPernah dan mungkin sedang berada dalam posisi seperti sahabat itu. Perlahan-lahan, aku pun mulai ingin bercerita kepada Tuhan. Namun, aku bingung bagaimana untuk memulainya.
BalasHapussemoga dikuatkan ya Farhan. jangan bingung untuk memulai cerita. ceritakan saja apa yang ingin diceritakan :)
HapusAkhir-akhir ini aku pun menjadi seperti itu. Lebih suka bercerita kepada Tuhan. Karena tidak selamanya masalah yang ku hadapi selesai dengan bercerita dengan orang lain. Kadang kala justru makin rumit.
BalasHapusiya mbak Flo, Tuhan adalah tempat terbaik untuk kita berbagi cerita.
Hapussaya termasuk orang yg tak suka menceritakan masalah sy ke orang lain atau sahabat
BalasHapustapi sy suka mendengerkan keluh kesah mereka dan memberi solusi
mungkin karena ingin terlihat kuat kali ya
entahlah
tapi sampe sekarang belom bisa curhat curhatan gitu hehe
Pernah berada di posisi itu dan memang larinya ke Tuhan, karena aku punya itu dan percaya. Sekarang coba belajar gak nyerca kalau adateman yg kena masalah. Kalau dia mau cerita silakan, tapi aku gak nanya karena mungkin itu bukan peduli tapi hanya ingin tahu saja
BalasHapusAku ya pernah wkt dulu tiba2 sobatku bilang kalau putus hubungan ama aku. Emang dia merasa lagi down bgt waktu itu. Tp bbrp waktu kemudian nyambung lagi hehe. Emang kadang org suka butuh waktu utk menyendiri sih ya, bener juga katanya, mungkin lagi curhat ama Tuhan :)
BalasHapusIya, kepo dan peduli beda tipis. Sedih banget
BalasHapusBahkan, terkadang awalnya pede ngeyakinin diri kalo aku peduli ke dia, tapi setelah ditelisik lebih jauh, ternyata gak lebih dari sekedar kepo
Ah, apalah diri ini 😢
hampir banyak orang yang ingin berteman atau bersahabat dengan kita karena, ada maunya. Dan sedikit banget orang yang ingin berteman atau bersahabat dari hati naluri sendiri.
BalasHapusMempunyai masalah memangnya harus di pendam saja. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya ceritakan dengan orang tua atau ibu kita setidaknya. Karena, cuman orang tua yang mengerti apa yang kita alami dan tulus sayang kepada kita.
Memang lebih baik kita berpikir positif aja.
BalasHapusMungkin memang dia hanya ingin mengadu pada Tuhan, Mbak. Sebagai sahabat kita lebih baik mendoakan saja. Semoga sahabat Mbak, baik-baik saja ya...
Bercerita pada Tuhan, karena Dia tempat yang Paling Aman bercerita....
BalasHapustemannya kayak saya, saya juga akan menarik diri kalau ada masalah.. pernah sebulan penuh hp mati, medsos ga aktif, dan ga bertemu siapapun hahahaah..
BalasHapuseh tp itu krn nggak mau menyusahkan orang lain. dari kecil begitu sih.. nggak mau ngerepotin org.. minta tlg doa saja dr org lain.. cukuplah begitu
Jadi sedih. Aku dulu pernah kaya gini mba, meski gak menutup 100% tapi aku mundur dari banyak hal. Tapi untuk ada pasangan, orang tua dan Tuhan yang selalu jadi tempat curahanku. Akhirnya semua lewaatt
BalasHapusSemoga Allah mudahkan urusan temannya ya Mbak. Memang ada tipikal org yg suka menarik diri dari orang2 klo lg ada msalah sehingga inginnya dipendam sendiri. Kalau aku sih tipikal yg suka curhat klo lg ada msalah. Tapi hanya curhat sama org yg aku percaya banget.
BalasHapusSaya jg lbh memilih kalau masalahnya bener2 pribadi dan seolah gak sanggup nanggung ya akhirnya curhatnya ke Tuhan. Soalnya kalau curhat ke org kdng tu tanggapannya bisa beda, bahkan mungkin ada yng "nyukurin" kondisi kita yg kyk gtu dudududu
BalasHapusOne of the hardest time in my life itu saat hamil, kebayang-bayang sampe sekarang, dari maret 2016 sampe september 2016 saya ke rs mulu bulak balik dan emang paling nyaman cerita sama Tuhan minta tolong sama Dia. Dan dengan sabar, aku ditunjukin keajaiban. Alhamdulillah
BalasHapusCurhat paling baik memang sedianya curhat kepada Allah Swt, karena pasti akan didengarkan
BalasHapusditunggu tulisannya yang lain :)
BalasHapus