SEKELUMIT KISAH BERSAMA WILMA

02.35

disabilitas
Wilma (Celemek Merah) dan saya (Jilbab Ungu) saat pawai di acara Oktober Fest di kampus
Sekelumit Kisah Bersama Wilma : Wilma, nama itulah yang terlintas saat saya mendengar kata disabilitas. Lengkapnya Wilma Margaretha Sinaga. Ia sahabat saya semasa kuliah. Hingga kini, sesekali kami masih sering berbagi kabar lewat telepon seluler.

Saya mengenal Wilma sejak hari pertama kuliah *Kalau tak salah ingat di Agustus 2006* di Prodi Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Medan. Melihatnya berjalan dengan dituntun seseorang, tahulah saya bahwa ia adalah seorang tunanetra.

Entah karena merasa berempati, kagum karena semangatnya kuliah, atau karena merasa senasib *sama-sama berjuang di kota Medan* saya menjadi dekat dengannya. Hampir tiap hari, sehabis perkuliahan, saya pun menuntun Wilma dari lantai 3 Fakultas Bahasa dan Seni, ke simpang empat di depan kampus tempat biasa menunggu angkot. Kadang kami hanya berdua, kadang bersama-sama teman yang lain. Awalnya saya agak kaku karena belum terbiasa. Maklum, menuntun seseorang dengan keterbatasan penglihatan ternyata berbeda dengan menuntun orang karena kakinya sakit atau fisiknya sedang lemah. Saya harus memberi aba-aba kalau misalnya kami harus naik atau turun tangga, saat ada lubang ataupun jalan becek. Biasanya saya akan memberi tanda dengan mengucapkan kata ‘langkah’ dan mengeratkan pegangan ke tangan atau lengannya.’Langkah kecil’ jika lubangnya kecil, ‘langkah besar’ jika lubangnya lumayan besa’. Dan Wilma pun paham kalau strukstur jalan di depannya berbeda dari yang sudah dilewati.

Sampai di perempatan, saya akan menunggu angkot untuk Wilma. Di tengah terik mentari dan udara yang bikin keringatan, menunggu angkot yang lewat pertigaan jalan menuju kos Wilma bukanlah hal mudah. Hal ini karena angkot arah kesana memang lebih sedikit dari angkot ke arah kos saya. Kalau ada yang lewat, seringnya sih sudah penuh.

Setelah Wilma naik angkot dan saya memberitahukan ke pak supir tempat Wilma turun, barulah saya pulang ke kos saya.

Kuliah di universitas umum dengan fasilitas yang sangat minim untuk kaum difabel membuat Wilma harus berjuang ekstra. Buku-buku bahan kuliah kami tidak ada yang huruf braile. Yayasan tempat Wilma tinggal sebenarnya mau membantu mentranslate buku kuliahnya. Namun itu membutuhkan waktu yang lama. Sering, saat waktu luang, ia meminta saya untuk membacakan materi dalam buku untuk dipindahkannya ke bukunya. Oya, buku tulis Wilma tak seperti buku kita. melainkan buku yellow pages tak terpakai yang ia tusuk-tusuk menggunakan semacam alat yang membentuk huruf-huruf braile. Jadi tiap hari ia membawa beberapa yellow pages untuknya menulis. Pfuihhh.. saya yang membawa satu buah binder saja rasanya sudah perjuangan sekali tiap hari turun naik lantai 3. Apalagi dengan beberapa buku yellow pages yang tebal itu.

Jika musim ujian, maka bawaan Wilma pun akan bertambah berat. Sebuah mesin ketik ditentengnya untuk bekalnya menulis karena dosen tentu tak mengerti huruf braile. Dan kami pun terbiasa dengan bunyi ketak-ketik Wilma saat perkuliahan.

Wilma berasal dari keluarga biasa. Sejak penglihatannya hilang saat ia umur 7 tahun *kalau tak salah ingat. Ia waktu kecil bisa melihat, kemudian kabur, lalu hilang sama sekali*, ia tinggal di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera Utara (Yapentra) di Tanjung Morawa. Yayasan ini didirikan oleh Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Saya pernah sekali diajak menginap di yayasannya. Pengalaman pertama tidur ala anak panti dan berada di tengah-tengah mereka yang memiliki keterbatasan melihat rasanya wow. Saya tak henti-henti memperhatikan mereka berbincang, bercanda dan bermain layaknya kita yang normal.

Seringnya saya bersama Wilma membuat obrolan-obrolan di belakang saya berkembang. Julukan ‘baby sitter’ nya Wilma pun sampai juga di telinga saya. Saya toh tak begitu peduli. Kenapa juga saya harus berhenti berbuat baik hanya karena omongan orang :)
disabilitas
Mengenakan Dirndl, baju tradisional masyarakat Bavaria. Wilma, saya, dan teman-teman kampus saat acara Oktober Fest di kampus
Suatu ketika, seorang teman kuliah yang cukup dekat dengan saya kala itu membuat pengakuan yang membuat saya tercengang. Katanya, sebenarnya dia sangat ingin sekali bantuin Wilma. Tapi masih berat hati. Usut punya usut, ia mengaku kalau masih bimbang antara membantu atau tidak karena Wilma non muslim. Selain itu, ia melihat teman-teman kami yang nonmuslim pun terkesan tak begitu peduli dengan Wilma. Teman seagamanya saja tak peduli, kenapa harus kita yang peduli, begitu kira-kira pikirannya.

Jujur saat itu saya cukup tercengang  namun akhirnya maklum. Awal-awal masa kuliah adalah masa dimana semua organisasi kampus PDKT sama anak baru. Dari organisasi umum sampai yang bersifat keagamaan. Dan isu-isu agama berupa kristenisasi dan islamisasi mencuat dengan gencarnya. Percaya nggak percaya hal ini cukup meracuni pikiran mahasiswa baru yang memang masih mudah dipengaruhi. Saya pun pada awalnya berpikiran bahwa kampus adalah dunia yang mengerikan karena seringnya mendengar isu-isu agama ini. Mahasiswa jadi terkotak-kotakkan. Pertemanan beda agama seakan terhalang sekat transparan hingga berteman cuma sekedar basa-basi saja.

Untungnya, ketika dihadapkan pada persoalan kemanusiaan *menolong Wilma maksudnya*, kala itu saya bisa mengesampingkan semua doktrin-doktrin yang pernah dijejalkan ke kepala saya. Maka, mendengar curhatan teman saya itu, meski bingung harus jawab apa, akhirnya saya menjawab kurang lebih begini :

“Ehm… aku kurang tau juga sih ya masalah agama. Secara pengetahuan agamaku cuma seuprit. Masih kalah lah dibanding pengetahuan agamamu. Cuma setauku islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong tanpa memandang status orang yang mau ditolong. Tolonglah seseorang karena dia butuh pertolongan. Bukan karena dia Islam, Kristen, Buddha, Batak, China, atau Jawa.”

Cukup bertele-tele ya jawaban saya waktu itu hehehee.. soalnya saya juga takut salah jawab :D
Entah karena jawaban saya dirasa pas di hatinya atau memang pada akhirnya pikirannya terbuka seiring waktu, kedepannya teman saya ini menjadi salah satu teman yang selalu siap sedia membantu Wilma.

Di tahun kedua perkuliahan. Orang-orang di jurusan kami sudah mulai terbiasa dengan Wilma. Dia sudah ngekos bersama teman sesama jurusan bahasa Jerman. Tiap berangkat kuliah ia selalu dibonceng sahabat saya yang curhat di atas tadi. Pulangnya kadang dibonceng kadang tidak karena teman saya itu juga mulai berorganisasi.

Saya sudah jarang pulang bersama Wilma karena sehabis perkuliahan sering menghabiskan waktu di organisasi pers kampus, selain itu juga karena teman-teman sudah terbiasa dan dengan senang hati pulang dengan menggandeng Wilma. Hanya sesekali, saat semua sibuk dan tak bisa mengantar Wilma ke simpang tempat menunggu angkot, saya pun akan mengantarnya, menyetop angkot, membantunya naik, baru kemudian kembali lagi ke kampus, tepatnya ke sekretariat pers kampus. Saat musim ujian ia juga sudah tak perlu lagi menenteng mesin tik dari kos karena mesin tiknya dititipkan di kantor jurusan. Tugas kampus ia kerjakan di kos dengan menggunakan komputer berbicara. Kalau tidak salah namanya program JAWS.

Sekarang, setelah mengingat-ingat masa itu. Saya akhirnya tersadar, orang-orang yang terlihat kurang peka dengan penyandang disabilitas, mungkin tidak semuanya benar-benar tidak peka, mungkin mereka hanya butuh waktu untuk kenal lebih dekat, untuk lebih meyakinkan diri bahwa kaum difabel butuh penerimaan kita yang normal. Bukan untuk dikasihani, tapi dibantu agar kedepannya jadi mandiri.

Sahabat-sahabat saya misalnya, semakin lama kami bersama menjalani perkuliahan, semakin akrab saja. Semakin terbuka pikirannya, kemanusiaan itu sifatnya universal, dan Wilma pun mendapat tempat di hati kami, sahabat-sahabatnya. Alhamdulillah, di angkatan kami, isu-isu agama pada akhirnya memudar. Kami bisa berteman dengan akrab *selain Wilma, sahabat akrab saya lainnya juga beragama Kristen*, saling membantu dan menghormati. Mungkin tulisan ini berkesan melebar, melenceng dari pembicaraan tentang disabilitas. Tapi disadari atau tidak, adakalanya status/identitas justru membutakan nurani. Entah itu status agama, etnis, ras, atau bahkan nationality. Contohnya saja yang terjadi saat ini, banyak orang-orang yang mengaku islam yang mengecam keras diskriminasi negara barat terhadap islam, tapi diam saja saat ada penyerangan gereja di beberapa daerah di Indonesia. Begitu pun sebaliknya. Kadang kita tidak sadar, ada pihak-pihak yang sengaja menjadikan agama sebagai alat pemecah belah *eh.. melenceng makin jauh nih ceritanya :D*
disabilitas
Wilma, saya dan Novita, salah satu sahabat akrab saya kala kuliah
Saya beruntung mengenal Wilma, darinya saya belajar untuk tidak menyerah karena keterbatasan. Dia adalah salah satu sahabat yang tidak pernah meremehkan mimpi-mipi saya *saya sering cerita impian dan rencana masa depan saya kepadanya*

Kini, Wilma tinggal di Solo bersama suaminya. Menjadi atlet catur tunanetra. Beberapa kali ia mewakili Sumut *kini mewakili Solo*dan Indonesia di kejuaraan dan pekan olah raga baik lokal, nasional maupun internasional. Sejak kuliah ia memang sudah mendalami catur.

Lewat kemajuan teknologi, kami sering berkomunikasi lewat sms, telfon, bbm, wa dan facebook. Ya, kemajuan teknologi memungkinkan Wilma untuk bisa memanfaatkan gadget. Bertukar cerita setelah sekian lama terpisah sejak lulus kuliah. Kadang kami mengenang masa kuliah. Menanyakan kabar si ini dan si itu. Rasanya senang sekali jika ia bercerita berhasil mendapatkan medali untuk Indonesia. Tapi juga prihatin saat ia bercerita bagaimana timpangnya perlakuan pemerintah Indonesia dibanding negara-negara lain. Namun di tengah ketimpangan itu pun, ia tetap mencoba memberikan yang terbaik untuk mengharumkan nama daerah dan negara yang ia wakili.
disabilitas
Wilma (mengenakan topi) kala mewakili Sumut
Ini sekelumit cerita saya tentang sahabat saya yang menyandang disabilitas. Saya sadar, postingan kali ini melenceng dari tema yang ditentukan Liga Blogger Indonesia 2016. Tapi tak apalah, saya memang sedang rindu sahabat saya yang satu ini.

Oya, salah satu cerpen saya yang terinspirasi dari Wilma bisa dibaca di sini.

  • Share:

You Might Also Like

55 komentar

  1. mewakili sumut buat apa tu? wadu kok dibilang baby sister bukannya bantu mala gosip ato gunjing. salam buat Wilma.

    @guru5seni8
    http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. mewakili sumut di bidang catur mbak :)

      Hapus
    2. mbak Tya bisa catur?! saya walaupun dulu sering diajarin Wilma, tetep aja nggak ngerti hahhahaha

      Hapus
  2. wahh luar biasa banget euy...
    menginspirasi, walau tunanetra tetap bisa berkarya menjadi atlet catur

    @chikarein

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, sangat menginspirasi. kemarin baru saja berhasil dapat medali emas di Singapura.

      Hapus
  3. Waah..semangat mba wilma itu sangat tinggi y..
    Pantang menyerah meakipun hrs bersusah payah seperti membuat buku sendiri dari yellow pages yg ditusuk2 membentuk huruf braile

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Siti, semangatnya yang tinggi jadi inspirasi saya tiap down. dia yang kekurangan saja bersemangat, masak kita nggak sih :)

      Hapus
  4. inspiratif...

    yg gondok pas baca bagian "ga nolong karna beda agama"

    miris yaa ... dan di sekitar kita case itu emang sering banget ditemuin

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, tapi setelah momen tersebut teman saya itu justru jadi salah satu orang yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk membantu Wilma.

      ereka sebenarnya hanya butuh waktu dan diberi pemahaman agar pikirannya lebih terbuka.

      Hapus
    2. Betul ...
      Untungnya yang bersangkutan segera sadar dan berubah.

      Diluar sana masih banyak yang ga peka dan lebih menikmati sebagai pencibir pada penyandang disabilitas

      Hapus
    3. tapi kita harus tetap optimis ke depannya bakal lebih banyak lagi orang yang berempati ke kaum difabel ya kan mas hehhehee.. :)

      Hapus
  5. intinya.. masih ada yang serba kekurangan lebih dari kita tapi dia tetap semangat, tidak mengeluh.. Tuhan menciptakan manusia pasti ada tujuan dibalik kekurangannya itu :)

    BalasHapus
  6. Salut dg perjuangan dan semangat temanmu itu.

    BalasHapus
  7. membantu sesama manusia kalo menurut saya sebaiknya jangan pandang agama karena sosial beda dengan keagamaan.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi seringnya kepedulian seseorang justru luntur hanya karena perbedaan mbak, itu yang seharusnya kita dobrak :)

      Hapus
  8. dibalik kekurangan Tuhan menciptakan kelebihan yang luar biasa ya. Wilma hebat bisa mewakili Sumut untuk kejuaraan catur :) selamat dan sukses buat Wilma :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau kita mau berbaik sangka, sesungguhnya selalu ada hikmah dibalik kesulitan-kesulitan yang kita alami. wilma sudah membuktikan itu :)

      Hapus
  9. salau sama mbak wilmanya, salamku untuk beliau ya .. semoga persahabatan kalian langgeng selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. terima kasih do'anya mbak. salamnya nanti disampaikan :)

      Hapus
  10. Hebat ya, meski penyandang disabilitas, bisa mewakili Indonesia di ajang kejuaraan Internasional. Salut buat Wilma. Salut juga buat Diah. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitulah mbak, kalau kita berusaha, in sha Allah hasilnya baik walau dalam proses berusaha itu kita berada dalam situasi keterbatasan :)
      saya pum selalu salut dengan sahabat saya ini :)

      Hapus
  11. Terharu...
    Wilma hebat.... meski disabilitas. Tapi kuliah tetep umum.. kerennnn

    @witri_nduz

    BalasHapus
    Balasan
    1. di jurusan kami kala itu, cuma Wilma satu-satunya penyandang disabilitas, dan nilai-nilainya juga bagus :)

      Hapus
  12. inspiratif,,
    baik Wilma nya, maupun mbak nya :D
    @aleksdejavu

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mas, saya hanya sekedar berbagi kisah :)

      Hapus
  13. Kuliah bawa buku yellow pages dan harus naik turun tangga dengan keadaan difabel, belum lagi gotong mesin ketiknya pas ujian.. Semangatnya luar biasa ya, Mbak. Bahkan sekarang bisa menjadi atlet catur. Keren.

    Salam buat Wilma, ya, Mbak. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya aja yang dianugerahi fisik sempurna dan ke kampus jarang bawa buku, kalaupun bawa pasti buku catatan tipis, masih suka ngeluh kenapa letak perkuliahan di lantai 3. makanya saya suka salut ama Wilma mbak :)

      Hapus
  14. Duh Wilma, malu banget saya yang normal begini belum dapet apa-apa, pasti menginspirasi sekali ya

    @umimarfa

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang kita yang normal malah suka menyia-nyiakan kesempatan ya mbak. males-malesan belajar *nunjuk diri sendiri :D*

      Hapus
  15. INi orang buat kita terharu, dengan keterbatasan masih bisa membuat orang termotivasi.
    @rizalarz

    BalasHapus
  16. MasyaAllah, mereka yg keterbatasan diri aja semangat menjalani hari, kenapa kita terkadang mengeluh

    BalasHapus
  17. Saya suka, menolong manusia itu dasarnya kemanusiaan, bukan keagamaan. Dan agama mengajarkan untuk menolong manusia dengan dasar kemanusiaan. :)

    @Wawa_eN

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, kadang kita melupakan hal itu. padahal saya yakin tiap agama pasti mengajarkan untuk tolong menolong.

      Hapus
  18. Sependapat,kadang dan seringkali org yg belum berempati pd difabel bukan krn tdk ingin, tp mereka butuh waktu utk menata diri dan mesti bgm bersikap agar tdk dianggap semata berbelas keasihan. Krn teman2 yg difabel pun tak ingin dikasihani tp diterima dan dihargai sebagaimana yg lainnya.

    Salam buat mbak wilma, she's great. Semoga mbak wilma sehat, sukses dalam rumah tangga dan kehidupan lainnya, termasuk bermain catur yg mendunia.

    @ririekayan

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.

      iya mbak, tugas kita untuk mengajak dan memberikan mereka pemahaman :)

      Hapus
  19. Sumuatera Utara ya? Heihiee. Wah jadi ingat asma SEPIA saya. Mahasiswi UNIMED (Universitas NEgeri Medan)> Hiehiehie. Eaaaaa malah Curhat. XIxixiixixie

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sumatera utara mas.

      wah..wah.. si mas punya sephia eui... putusin..putusin.. setia lah mas :D

      Hapus
  20. menjadi sosok inspirasi karena semangat dan ketegarannya ya mbak Wilma...salut banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya salah satu orang yang terinspirasi Wilma, semoga dengan postingan ini mbak putri juga terinspirasi ya :)

      Hapus
  21. Semangat Wilma melebihi orang normal ya mbak Diah, salut buat Wilma sangat menginspirasi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak, kita yang normal malah kalah dibuat Wilma :)

      Hapus
  22. kereen..semoga tetap semangaat yaaahh

    BalasHapus
  23. yellow pages. duh saya bakal teringat ini mbak. luar biasa bener deh perjuangan wilma. satu buku aja beratnya kayak gitu. tapi jadi tahu mbak, benda yang saya anggap nggak berguna bisa berguna buat yang lain ternyata ya.

    tfs mbak.

    @diahdwiarti

    BalasHapus
    Balasan
    1. buat kita yellow pages mungkin hanya jadi tumbukan kertas yang nggak ada gunanya kali ya, tapi buat orang-orang seperti Wilma, benda itu sangat bermanfaat mbak :)

      Hapus
  24. Menjadi satu bukti bahwa difabel juga mampu bersaing di lembaga pendidikan umum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, mereka mampu bersaing, hanya kita yang sering menyepelehkan :(

      Hapus
  25. Hai Kak Diah, Masih ingat aku ga? Senang banget baca kisah kakak sekelumit dengan kak Wilma. :)
    Wahh ternyata kak Diah masih aktif menulis ya... Sampai sekarang aku masih menyesal ga ikut organisasi pers kampus dulu.
    Ajarin nulis donk kak...

    BalasHapus