[CERPEN] SUATU HARI DI DESA PAKLEK

18.15

cerpen suatu hari di desa paklek
[Cerpen] Suatu Hari di Desa Paklek

[Cerpen] Suatu Hari di Desa Paklek : Kemarin saya bongkar-bongkar file lama, dan ketemulah file cerpen ini. Jujur saya sendiri sudah lupa pernah menulis ini. Secara masa-masa nulis fiksi emang udah lama banget berlalu.

Saya nggak tau kenapa sekarang itu rasanya sulit banget tiap mau nulis puisi ataupun cerpen, padahal dulu itu saya mengawali karir kepenulisan *ceileee karirrrr hahhahaha* dari dunia fiksi. Iseng-iseng ngirim karya ke salah satu harian di kota Medan, kemudian diterbitkan dan saya jadi semakin semangat terus ngirim karya.

Cukup surprised ketika mendapati file ini. Makanya saya posting disini. Nggak ada diedit sedikit pun, bahkan EYD, tanda baca dll yang saya lihat masih kurang bener pun saya biarin aja. Biar besok-besok kalau baca postingan ini saya jadi inget gimana dulu tulisan saya.


Entah tahun berapa cerpen ini saya tulis. Saya beneran nggak inget. Mungkin antara tahun 2008-2011 gitu deh. Soalnya di tahun-tahun itu saya lumayan getol nulis fiksi.


Daaann... jeng..jeng..jeeeng.. inilah [Cerpen] Suatu Hari di Desa Paklek karya saya dulu, selamat menikmati


[Cerpen] Suatu Hari di Desa Paklek

Mentari belum terbangun dari mimpi. Pucuk-pucuk embun merayap ke segala sudut pagi. Terlena! Jiwa-jiwa masih terbalut hangat selimut. Berbeda dengan aku dan Jono, bocah tujuh tahun yang baru tiga hari ini menemani hari-hariku dalam pelarian hidup.

“Kita mau kemana Jon?”

“Sudah, kakak ikut saja” jawabnya. Ia berjalan lebih cepat dariku. Aku keteter mengejarnya.

“Cepat sedikit kak, sebelum ketinggalan” bocah laki-laki yang selalu ceria dan berkepala botak itu seakan tak sabar melihatku yang memang lebih terbiasa mengendarai Avanza dari pada harus berlelah-lelah ria.

“Masih ja..”

“Lihat kak!!” telunjuk mungilnya menunjuk sesuatu ke arah puncak bukit ketika aku hendak bertanya lagi. Aku mengikuti bola matanya.

“Subhanallah! Indah benar lukisanNya” seakan tak percaya aku memandang wajah TUHAN yang menjelma menjadi mentari pagi dengan rona Jingganya. Mentari yang sebagian wajahnya masih bersembunyi di balik satu-satunya bukit di desa ini. Mentari tlah terbangun.

“Kak!” Jono mengoyang-goyang tubuhku. Aku tergagap

“Eh iya, indah sekali ya Jon?!” Jono tersenyum

“Pejamkan mata kak!”

“Hah?” aku tak mengerti

“Pejamkan mata kak!” Jono megulang. Matanya sudah terpejam. Aku mengikuti.

“Sudah”
Sesaat berlalu

“Sekarang buka”

Kubuka mataku. Dan..ya rahman! Bocah lugu ini kembali memperlihatkan padaku bukti keagunganNya. Puluhan burung bangau merayap di udara, melewati kami dan mendarat di persawahan tak jauh dari tempat kami berdiri. Benar-benar indah. Aku merentangkan tanganku dan tengada pada bola pijar dunia itu. Tak kurasakan lagi dingin. Kusambut angin yang menggodaku untuk menari. Untuk berirama.

“Aaaa…!!” aku berteriak sekeras mungkin sambil berputar. Jono juga melakukan hal serupa. Kami menari. Bernyanyi. Di pagi yang ranum.
*

“Kapan kau pulang Ra?”

“Paklek sudah bosan melihat saya disini? Jawabku, sedikit terusik

“Bukan begitu Ra, paklek dan bulek senang-senang saja kamu ada di sini. Tapi bagaimana dengan kuliahmu, dengan keluargamu, apalagi ayahmu tidak senang dengan paklek. Paklek tidak mau ayahmu berpikiran yang tidak-tidak sama paklek, apalagi kalau sampai berimbas ke kamu” paklek bicara panjang lebar.


Aku menghela nafas, paham akan maksud paklek. Papa dan mama memang tidak suka aku bergaul dengan adik papa paling kecil ini. Papa marah saat paklek memilih menikahi bulek Mirna yang hanya gadis desa dan tak lulus SMA ketimbang kuliah dan mengurus usaha restoran peninggalan kakek.


Papa menuduh paklek telah terkena guna-guna bulek Mirna. Aku tak ambil open. Toh sampai sekarang omongan papa tak terbukti. Paklek dan bulek masih tetap akur sampai sekarang. Padahal sudah 12 tahun mereka menikah, belum dikarunia anak. Tapi mereka masih adem ayem. Bahkan lebih harmonis dari hubungan papa dan mama yang memang sudah lama tak harmonis lagi. Aku memang sudah hampir sebulan tinggal disini. Cuti kuliah dan meninggalkan mama papa di Medan.


Aku bosan mendengar pertengkaran mereka. Suasana di rumah hanya ada dua macam : kesunyian dan keributan. Sunyi saat mereka sibuk di luar tanpa peduli padaku, anak semata wayangnya. Ribut jika mereka sudah pulang dan pasti bertengkar.

“Belajar apa kita hari ini kak?” suara ringan Jono mengagetkanku. Kulihat ia dan teman-temannya memandangku

“Eh, kalian sudah datang! Hari ini tema pelajaran kita adalah, aku kaya” ucapku.

Dan kami pun bergegas ke bangku yang menyerupai lingkaran di bawah pohon mangga di depan rumah paklek. Mereka duduk rapi di bangku tersebut. Aku berada di tengah-tengah dan mulai menceritakan makna kaya seperti yang kuketahui. Sejak aku mengenal Jono dan teman-temannya, sejak itulah mereka sering mengunjungiku. Mereka suka kuajari apa saja. Berhitung, membaca, menyanyi atau bahkan sekedar aku ceritakan dongeng yang sering kubaca di majalah anak-anak yang sering kubaca dulu. Aku prihatin melihat anak-anak di desa ini. Mereka cerdas, ceria, santun, tetapi tak sekolah. Sedari kecil mereka sudah diajak berkebun, berladang dan beternak. Bukan tak ada sekolah di desa ini. Ada! Tapi memang minat orang tua mereka yang tak ada. Atau mungkin ada, namun sudah terlanjur kecewa melihat berita di TV mengenai banyaknya sarjana menganggur.


Aku tak tahu pasti. Tapi yang pasti, aku sangat prihatin melihat desa dengan jalan sudah teraspal dan berjarak hanya dua jam perjalanan dari kota Medan, penduduknya banyak tak makan sekolahan.

“Jadi walaupun kita tak punya helikopter, kita tetap kaya ya kak?” pertanyaan Randu menyadarkanku dari lamunan setelah menjelaskan tentang tema tadi.

“Benar sekali Randu”

“Sebab walaupun kita tidak punya barang-barang mahal, tapi kita masih punya kesehatan yang baik” Lina angkat bicara

“Kita masih bisa bercanda, tertawa riang” Fazar anak paling pemalu di antara mereka juga ikut bersuara. Aku senang mendengarnya

“Kita masih punya ilmu pengetahuan” yang lain menambahkan

“Dan yang paling penting adalah kita masih bisa bersama-sama dengan orang yang kita sayangi” Jono tak mau kalah.

“Ya… semua jawaban kalian benar. Kaya bukanlah ketika kita mempunyai barang-barang mewah dan uang yang banyak. Kaya adalah dimana kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki saat ini” ucapku.


Sebuah mobil mewah berwarna merah memasuki halaman rumah paklek. Aku kenal mobil itu. Papa!
Papa berjalan ke arahku. Kulihat Paklek dan bulek Mirna juga keluar rumah dan berjalan ke arahku.

“Ayo pulang!” suara papa terdengar ketus

“Ayo masuk dulu kang!” Paklek mencoba mencairkan kekakuan

“Aku kesini cuma untuk menjemput Kara, bukan untuk masuk ke rumah kumuhmu”
Aku menyuruh Jono dan teman-temannya pulang karena tak ingin mereka melihat hal-hal yang tak enak.


“Ayo pulang!” papa mengulang kalimatnya

“Aku akan tetap di sini, setidaknya sampai cutiku berakhir” jawabku

Plak!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi bulek Mirna

“Dasar wanita laknat! Belum puas kau jampi-jampi adikku?! Sekarang kau jampi-jampi juga anakku. Setan!” amarah papa membuncah. Gerakan papa hendak memukul bulek Mirna, tapi belum sempat hal itu terjadi, kulihat papa memegang dadanya dan seketika terjatuh ke tanah berdebu.
***


Yaiii... itu dia [cerpen] Suatu Hari di Desa Paklek yang saya tulis entah tahun berapa tepatnya itu :D kasi komentar kalian dong!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar