waktu bersama ayah |
Sebagai anak paling kecil dan memiliki ayah yang bekerja sering keluar kota, saya termasuk anak yang beruntung. Karena meskipun ayah sering keluar kota, masa-masa saya bersama ayah terbilang sangat berkualitas.
Banyak momen-momen saya bersama ayah yang begitu lekat di ingatan saya hingga saat ini. Baik itu yang saya ingat kejadiannya, atau kejadian saat saya masih terlalu kecil dan belum mampu mengingat *ceritanya saya dengar dari orang lain, ibu, abang, dan teman-teman ayah*.
Meski ayah sering pergi berhari-hari, namun saat ia pulang, ia seakan membayar waktu-waktu yang terlewatkan tanpa ada ia disisi saya. Saya masih ingat saat ia membonceng saya di sepeda, duduk di pangkuannya, mandi si sungai bersama sambil main pasir. Ke ladang bersama memetik sayur-mayur untuk dimakan keluarga kami. Makan bersama, dan hal-hal lain yang kami lewatkan bersama-sama. Bahkan, saat ayah sudah memiliki sepeda motor, saya selalu naik di depan layaknya anak kecil padahal saat itu saya sudah SD.
Ada sedikit kisah unik saat saya hendak didaftarkan ke Sekolah Dasar. Ayah dan ibu saya membebaskan saya memilih untuk didaftarkan oleh siapa, ayah atau ibu. Hal ini berhubungan dengan nama yang akan didaftarkan ke sekolah. Perkara nama saya memang punya cerita tersendiri. Ayah dan ibu memberikan nama yang berbeda untuk saya. Berbeda dengan abang-abang saya, kedua orang tua saya sepakat ketika memberikan nama ke abang-abang saya. Tapi ketika saya lahir, rupanya mereka sudah menyiapakan nama masing-masing.
Meski tak terjadi pertengkaran perihal nama saya, tapi masing-masing ingin nama pemberian mereka yang dipakai. Hingga akhirnya mereka memanggil saya dengan nama yang berbeda sesuai nama yang mereka beri. Hal ini berlangsung hingga saya besar. Keluarga dan orang-orang sekampung mengenal saya dengan nama pemberian ibu, sedang ayah tetap memanggil saya dengan nama pemberiannya. Dan nama yang tertera di KTP saya saat ini adalah nama pemberian ayah saya.
Jadi saat hendak mendaftarkan sekolah itu ternyata ayah dan ibu sepakat, siapa yang saya pilih untuk menemani saya mendaftar ke sekolah, nama pemberiannya lah yang dipakai. Dan saat itu saya memilih mendaftar bersama ayah. Saya tidak tau apa alasan saya memilih didaftarkan oleh ayah. Tapi jika dipikir-pikir sekarang, mungkin saat itu bonding antara saya dan ayah sudah cukup kuat.
Saya suka dengan sikap kedua orang tua saya mengenai nama saya, mereka teguh pendirian sekaligus menghargai perbedaan pendapat tanpa harus bertengkar hebat. Saya memang tidak pernah melihat kedua orang tua saya bertengkar. Menurut cerita ibu, sepanjang pernikahan mereka, cuma sekali ibu pernah marah hebat sampai melempar piring ke lantai, tapi itu terjadi sebelum saya lahir. Sekedar saling berargumen sih sering saya saksikan, tapi justru hal itu bagus menurut saya, secara tidak langsung mengajari kami untuk berani menyuarakan pendapat.
Ketika besar sekarang pun, saya banyak mewarisi apa yang dimiliki ayah. Salah satunya yang terispirasi dari ayah adalah hobi saya jalan-jalan, fotographi, dan berorganisasi/komunitas. Tiap ayah bepergian, beliau pulang dengan membawa oleh-oleh khas kota tempat ia ditugaskan. Juga album foto aktifitas ayah di kota tersebut. Ini yang paling menginspirasi saya dan menumbuhkan minat jalan-jalan saya. Lewat foto, saya tidak hanya jadi suka jalan-jalan, tapi juga suka jeprat-jepret. Saya sering pinjam kamera (dulu bilangnya tustel) ayah untuk foto-foto bareng teman sekolah. Biasanya kami patungan membeli roll film.
Anak-anak adalah peniru ulung, itu sebabnya orang tua harus memberi contoh yang baik untuk ditiru |
Banyak hal memang yang diturunkan ayah ke saya. Meski ayah sering kerja ke luar kota, tapi saya tidak kehilangan figurnya. Tak juga kehilangan masa-masa berharga bersama ayah. Karena percaya atau nggak, kedekatan anak terhadap orang tuanya turut pula mempengaruhi perkembangan mental dan fisiknya.
Dibanding anak-anak lain yang ayahnya bekerja di luar kota, saya termasuk beruntung karena meskipun kuantitas kebersamaan saya dan ayah tak sebanyak anak-anak lain yang ayahnya bekerja di dalam kota, namun kualitas kebersamaan yang kami miliki cukup tinggi dan berhasil membangun bonding saya dan ayah. Berbeda dengan yang dialami mas Salman Al-Jugjawi (Sakti, ex Sheila On 7). Kebetulan saya berteman di sosial media dengan mbak Miftahul Jannah, istrinya mas Salman. Dan sering membaca cerita-cerita pengasuhan anak pada status-status yang dibagikan mbak Mifta.
Dari sana saya tau bahwa mas Salman pernah mengalami baby blues. Iya loh, ternyata baby blues tidak hanya dialami oleh para ibu, tapi ayah juga berisiko mengalami baby blues. Diceritakan mbak Mifta, di awal-awal kelahiran anak mereka, mas Salman kerap menghindari menggendong anaknya. Saking jarangnya bahkan tak sampai hitungan semua jari tangan. Hal tersebut berimbas pada si anak yang tidak dekat bahkan cenderung takut melihat ayahnya karena jarang terlibat momen bersama.
Alasan mas Salman ketika itu adalah takut terkena najis. Tapi setelah diajak ngobrol lebih lanjut oleh mbak Mifta, alasan sebenarnya adalah karena ia tidak tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya memperlakukan anaknya. Saat kecil mas Salman mengaku tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari ayahnya karena pekerjaannya selalu mengharuskan keluar kota. Pengalaman masa kecil itu membuatnya tidak punya contoh bagaimana seharusnya seorang ayah bersikap dalam pengasuhan anak. Duuh.. waktu baca kisah ini saya jadi merasa sangat bersyukur karena tak kehilangan father-daughter moment.
Tapi untungnya mbak Mifta ini adalah istri yang kece menurut saya. Beliau yang memang magister psikolog ini pun merasa perlu untuk ambil tindakan. Ia pun bertekad untuk membantu anak dan suaminya dalam menjalin bonding di antara mereka. Hasilnya?! Saya jadi senyum-senyum haru dan kangen almarhum ayah tiap baca cerita di status-status mbak Mifta tentang mas Salman dan Zahro (anaknya). Mereka sangat dekat dan kompak.
Apa yang dilakukan mbak Mifta untuk menumbuhkan bonding antara Zahro dan ayahnya?! Ternyata simple saja, cukup libatkan mereka dalam momen-momen keseharian. Misalnya saat Zahro meminta mbak Mifta untuk membantunya melakukan sesuatu, maka mbak Mifta meminta Zahro untuk minta tolong ke ayanya. Membungkus makanan misalnya, atau minta ditemani main sepeda, minta di antar ke suatu tempat, sampai makan sepiring berdua. Berawal dari hal-hal sederhana itu, akhirnya tercifta kelekatan yang kuat berkat momen-momen bersama yang mereka lalui.
Bonding saya dan ayah saya, Zahro dan mas Salman, terjalin karena hal yang sama : hal-hal keseharian yang sederhana namun berharga.
Momen-momen kebersamaan anak-orang tua memang tak terganti ya. Terekam dalam memori jangka panjang dan membekas di hati bahkan sampai si anak dewasa dan menua. Jadi tergantung pengalamannya, kalau pengalaman dan perlakuan yang ia dapat dari orang tuanya adalah yang baik-baik, mudah-mudahan berdampak baik pula pada perkembangan mental dan karakternya. Makanya saya paling seneng kalau ngeliat anak-anak bermain dengan orang tuanya. Khususnya dengan ayah. Tau sendiri lah kan, banyak yang berpikir bahwa tugas mengasuh anak itu hanya tugasnya para ibu. Ini jelas keliru, karena bagaimanapun, ayah dan ibu punya peran, porsi, dan posisi masing-masing. Anak membutuhkan figur keduanya, bukan salah-satu saja.
Tiap anak butuh figur seorang ayah |
Baca juga : KEBAHAGIAAN KELUARGA, PENENTU KARAKTER DAN TUMBUH KEMBANG ANAK
Kalian punya cerita tentang kebersamaan dengan ayah kalian? Share disini ya :)
Foto-foto : BlueStone.com
0 komentar